Keterbatasan Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana) dalam Menanggulangi Konflik Kekerasan (Carok) pada Masyarakat Madura

Keterbatasan Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana) dalam Menanggulangi Konflik Kekerasan (Carok) pada Masyarakat Madura

 

Oleh: Cahyono[1]

Cahyonohakim98@gmail

 

  1. Pendahuluan

Sistem hukum kodifikasi dan unifikasi sungguh tidak realistik dalam mengembanwujudkan amanat luhur: “mengakomodasi nilai-nilai hukum yang hidup”, apalagi bila harus dibaca sebagai akses bagi keadilan rakyat yang heterogen. Di sini persoalannya tidak terbatas pada ketidakjumbuhan norma dan nilai dari dua sistem yang berbeda itu. Juga tidak hanya terbatas pada kemampuan rakyat untuk memasuki sistem birokrasi-teknis yang begitu rumit. Lebih dari itu, soal kemampuan dan kesiapan para hakim untuk menggali dan menemukan nilai-nilai yang memang belum siap untuk dipakai (nilai yang mana dan menurut siapa), menjadi persoalan yang tidak kalah krusial.[2]

Noonan[3], secara dramatik menggambarkan ketakmampuan para hakim menangkap aspirasi sosial dalam sebuah kasus. Menurut catatan Noonan, lembaga-lembaga peradilan serta para hakim yang sangat diagungkan sekalipun, lebih sering gagal untuk memberikan respons terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi atau kepentingan-kepentingan sosial para pihak. Itu terjadi ketika para hakim membiarkan adanya “topeng” (yaitu konsep-konsep untuk mengklasifikasikan secara formal), dan dengan begitu menyembunyikan realitas kemanusiaan dan sosial yang kompleks yang ada dalam kasus-kasus yang mereka hadapi.

Diberbagai mass media (Kompas-regional) telah menginformasikan berbagai kasus carok yang terjadi di kawasan Madura sebagai berikut:

Dua orang tewas dalam kasus “carok” di Kabupaten Sampang, – perkelahian dengan menggunakan senjata tajam antar warga sekitar pukul 19.00 WIB, Senin (11/8/2014) malam. Lokasi carok di Desa Sokabanah Daja, Kecamatan

 

Download  lengkap artikel:

Criminal Justice System

Efektivitas Bentuk Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi dalam Menanggulangi Kasus Perusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup berdasarkan UUPPLH

Efektivitas Bentuk Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi dalam Menanggulangi Kasus Perusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup berdasarkan UUPPLH

Oleh: Cahyono

 (Hakim Pengadilan Negeri Sleman)

Dewasa ini hukum lingkungan telah berkembang dengan pesat, bukan saja dalam hubungannya dengan fungsi hukum sebagai perlindungan, pengendalian dan kepastian hukum bagi masyarakat (social control) dengan peran agent of stability, tetapi lebih menonjol lagi sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering) dengan peran sebagai agent of development atau agent of change. Sebagai disiplin ilmu hukum yang sedang berkembang, sebagian besar materi hukum lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi (administratief recht). Dari substansi hukum menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan administrasi, hukum lingkungan keperdataan dan hukum lingkungan kepidanaan.

Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks, tidak hanya bersifat praktis, konseptual, ekonomi saja, tetapi juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis. Hukum pidana tidak hanya melindungi alam, flora dan fauna (the ecological approach), tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the antropocentris approach). Dengan demikian muncul istilah “the environmental laws carry penal sanction that protect a multimedia of interest”.[1]

Perkembangan undang-undang tentang lingkungan hidup khususnya di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa Bangsa pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)“. Selanjutnya konferensi  Internasional tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972  telah menghasilkan “Deklarasi Stockhlom” yang berisi 26 asas berikut 109 rekomendasi pengimplementasiannya dan sebagai tindak lanjut dari konferensi tersebut 10 tahun kemudian, pada tanggal 11 Maret 1982 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) yang telah menandai awal pembangunan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

Permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam mencermati perkembangan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka menyempurnakan undang-undang lingkungan hidup. Pada tahun 1982 lahirlah  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982. Selanjutnya undang-undang tersebut disempurnakan dengan lahirlah  Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH) dan kemudian direvisi kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Dengan adanya UUPPLH diharapkan kewenangan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi berkekuatan secara hukum dan memiliki otoritas yang lebih luas.[2]

Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa, puncak gunung, sampai ke perut bumi dan dasar laut dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa. Oleh karena itu sifat undang-undang lingkungan hidup mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang memuat asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi sebagai “payung” (umbrella act)[3] bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.

Selanjutnya agar suatu norma atau suatu peraturan perundang-undangan itu dapat dipatuhi oleh setiap warga masyarakat, maka di dalam norma atau peraturan perundang-undangan biasanya diadakan sanksi atau penguat. Sanksi tersebut bisa bersifat negatif bagi mereka yang melakukan pelanggaran, akan tetapi juga bersifat positif bagi mereka yang mematuhi atau mentaatinya.

Ada berbagai sanksi dalam hukum lingkungan diantaranya adalah penggunaan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan, Siti Sundari Rangkuti[4] yang telah melakukan penelitian tentang berbagai sanksi tersebut mengambil  kesimpulan sebagai berikut :

  1. Bagian terbesar dari hukum lingkungan merupakan hukum administrasi negara, karena itu sanksi administratif sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup;
  2. Hinder Ordonnantie (Stb. 1926 No, 226) perlu segera dirubah atau dicabut, sedang prosedur perizinan hendaklah disempurnakan dengan memperhitungkan kepentingan ekologik demi pembangunan yang berwawasan lingkungan;
  3. Gugatan ganti kerugian terhadap perusak dan atau pencemar lingkungan dapat diajukan ke pengadilan berdasarkan undang-undang lingkungan hidup dan Pasal 1365 BW mengenai perbuatan melawan hukum tetapi asas schuldaansprakelijkheid yang terkandung  dalam pasal tersebut merupakan hambatan bagi penggugat;
  4. Beban pembuktian menurut Pasal 1865 BW sangat memberatkan penggugat yang biasanya awam dalam hukum sehingga perlu dipikirkan kemungkinan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam perkara lingkungan;
  5. Sanksi pidana bukan pemecahan utama dalam penanggulangan masalah pencemaran lingkungan, tapi hanya merupakan ultimatum remedium;
  6. Badan hukum keperdataan dapat dikenakan sanksi pidana dalam perkara perusakan atau pencemaran lingkungan;
  7. Delik lingkungan perlu dirumuskan dalam pengertian yang terkandung dalam undang-undang lingkungan hidup  guna memudahkan penyelesaian perkara di pengadilan;
  8. Aparat kepolisian sebagai penyidik perkara lingkungan hendaknya mampu menyajikan alat bukti yang kuat dan meyakinkan agar penegakan hukum terhadap pasal undang-undang lingkungan hidup dapat berhasil;
  9. Sanksi hukum terhadap penguasaan dalam fungsinya sebagai pengelola lingkungan adalah sanksi administratif, sedang sanksi pidana dapat dikenakan kepada penguasa yang bertindak sebagai pribadi terlepas dari tugas dan wewenangnya;
  10. Ketentuan pidana dalaam berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan UU lingkungan hidup;
  11. Peraturan perundang-undangan lingkungan (millieuwetgeving) dimasa mendatang hendaklah memuat dan memperhatikan prinsip-prinsip hukum lingkungan;
  12. Keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu memerlukan kerjasama yang serasi antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Persoalan digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Dalam konteks penegakan hukum lingkungan melalui jalur pidana bisa digunakan dalam berbagai kasus yang melibatkan korporasi.[5]

Berbagai upaya dilakukan dalam penanganan kejahatan lingkungan,                                           Dalam praktiknya, ada berbagai kendala yang muncul sehingga penegakan hukum lingkungan belum optimal. Salah satu kasus masalah pencemaran laut yang diangkat kembali[6] adalah pencemaran yang diakibatkan anjungan pengeboran minyak di Montara Blok West Atlas Laut Timor, perairan Australia yang meledak dan terbakar pada 21 Agustus 2009. Setiap hari sekitar 400 barel (64 ton) minyak mentah tumpah ke laut lepas. Sembilan hari kemudian, tumpahan minyak mentah itu sudah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang berbatasan dengan ZEE Australia. Ladang Minyak Montara terletak sekitar 690 kilometer di sebelah barat Darwin dan 250 klometer di barat laut Truscott, Australia Barat. Penanggungjawab             pengeboran adalah PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia Pty Ltd. yang bermarkas di Perth. Perusahaan ini adalah anak usaha PTTEP Thailand, yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Kebocoran kilang minyak itu akhirnya bisa ditutup pada 3 November 2009. Namun tumpahan minyak terlanjur mengalir ke perairan Indonesia. Misalnya pada 1 September 2009, jejak tumpahan minyak ditemukan pada jarak 51 mil laut dari  Pulau Rote. Dampaknya terasa sampai dua tahun setelah kebocoran itu. Pada tahun pertama setelah kebocoran, hasil tangkapan ikan nelayan di wilayah Timor Barat anjlok sekitar 85 %. Hasil panen petani rumput laut juga berkurang hampir 90 % dari saat normal. Pemerintah Indonesia menghitung kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi sekitar Rp. 22 triliun. Biaya tersebut termasuk biaya pemulihan lingkungan akibat kebocoran sumur minyak tersebut.[7]

Proses penyelesaian melalui jalur negosiasi dilakukan mulai 27 Juli 2010 dan pada beberapa pertemuan awal PTTEP menunjukkan iktikat baik mereka. Kedua pihak sepakat menuangkan poin-poin kesepakatan dalam nota kesepahaman (MoU), namun dalam perjalanannya proses tersebut menjadi “ruwet” dengan berbagai  macam alasan. Jalur diplomasi langsung ke pemerintah Thailand pun sudah dilakukan tetapi belum membuahkan hasil. Mentok di jalur negosiasi, pada Mei 2013, tim Kementrian Lingkungan membuat  kajian soal peluang membawa kasus Montara ke jalur hukum. Pemerintah Indonesia akan menempuh jalur hukum internasional, hukum perdata dan hukum pidana.[8]

  1. Perumusan Masalah
  1. Mengapa bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi belum efektif dalam menanggulangi kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup ?
  2. Upaya apa yang seharusnya dilaksanakan agar bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dapat berlaku secara efektif ?

 

 

  1. Pembahasan
    1. Bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi belum efektif dalam menanggulangi kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup

           Jutaan yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air atau pencemaran lingkungan, seperti yang dipermasalahkan sekarang sebab manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam untuk menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system).

Bahkan pada tahap awal industrialisasipun pada saat gumpalan asap mulai mengotori udara, air limbah mengotori air (sungai dan laut) dan sampah-sampah dibuang di atas tanah yang subur, orang masih percaya pada kemampuan udara untuk membersihkan sendiri, air (sungai maupun laut) dapat mengencerkan benda-benda asing itu secara alamiah tanpa perlu khawatir akan bahayanya. Demikian pula halnya dengan manusia yang hidup di planet bumi, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan pada setiap waktu, tempat dan keadaan tertentu evolusi atas dasar terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri.

Setelah berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960-1970) manusia mulai sadar bahwa manusia tidak pernah bisa menaklukan alam. Ketergantungan pada alam atau lingkungan untuk memperoleh keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi. Agar pengontrolan atau pengawasan yang dilakukan jalur hukum dapat berlaku secara efektif, maka hukum dalam aktivitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Lingkungan Hidup.

Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat juga dilakukan oleh suatu badan hukum[9] yang merugikan masyarakat, maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.

Adapun teori-teori yang berlaku terhadap poses pemidanaan suatu badan hukum antara lain[10] :

  1. Ultra vires
  2. Teori keagenan
  3. Teori surat kuasa
  4. Alter ego
  5. Respondeat superior
  6. Piercing the corporate veil
  7. Deep pocket theory
  8. Strict liability
  9. Vicarious liability
  10. Pembuktian terbalik
  11. Fiduciary duty
  12. Inhouse management rule
  13. Insider trading

Ada beberapa tahapan perkembangan yang memberikan pengakuan pada korporasi sebagai subjek tindak pidana : Pertama, tahapan ini ditandai dengan usaha agar tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan (naturlijk person). Pembentuk undang-undang sejak tahun 1886 telah memasukkan dalam beberapa peraturan dan undang-undang. Namun kesulitan timbul ketika perumusan perbuatan pidana tersebut secara jelas atau implisit ditujukan pada keadaan yang hanya dimiliki oleh badan hukum sendiri. Melakukan perbuatan pidana (plegen) pada waktu itu diartikan sebagai suatu perbuatan fisik oleh pembuat. Sesudah itu timbul perubahan perlahan-lahan. Kemudian akhir tahun empat puluh dan permulaan tahun kelima puluh pandangan ini dikukuhkan dalam beberapa putusan hakim.[11]

Kedua : tahap ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Namun tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Perumusan yang khusus ini yaitu apabila suatu perbuatan pidana dilakukan oleh karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Pertanggungjawaban pidana langsung dari korporasi masih belum muncul.

         Ketiga : Tanggungjawab pidana langsung dari korporasi pada akhirnya dianut yaitu pada waktu dan sesudah Perang Dunia II. Korporasi dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana, disamping sebagai pemberi perintah atau pimpinan yang nyata telah berperan pada perbuatan pidana itu. Hal ini terjadi pertama kali untuk ordenings strafrecht dalam putusan pengendalian harga pada tahun 1941.[12]

         Sedangkan perkembangan sejarah korporasi sebagai subjek tindak pidana di Inggris sebagaimana diuraikan John C. Coffee, Jr.[13]

  1. Adanya doktrin respondeat superior (yaitu prinsip bahwa seseorang bertanggungjawab secara perdata untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh agen/anak buahnya) dalam hukum ganti rugi (tort law) pada abad 19 yang kurang mempunyai landasan konseptual untuk mempertanggungjawabkan perbuatan individu kepada korporasi.
  2. Sulitnya mencari unsur mens rea pada korporasi.
  3. Adanya doktrin ultra vires yang mengandung hambatan konseptual, karena sampai abad 19 doktrin ini membatasi kekuasaan korporasi pada perbuatan-perbuatan yang dibenarkan menurut anggaran dasar. Hal ini dikarenakan anggaran dasar secara formal hanya memberi kewenangan kepada korporasi untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan hukum maka secara logis korporasi tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan kejahatan.
  4. Penuntutan korporasi tidak dapat dicocokkan dengan persyaratan prosedural yang kaku, antara lain terdakwa dihadirkan secara personal ke pengadilan. Hukum Inggris tidak menyukai peradilan in absensia.

Akan tetapi hambatan-hambatan ini tidak sepenuhnya menghalangi adanya pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya industrialisasi di Inggris pada pertengahan abad 19. Pengadilan-pengadilan waktu itu dihadapkan pada pelanggaran-pelanggaran hukum oleh perusahaan-perusahaan kereta api dan mereka merespon dengan menyatakan bahwa korporasi itu sendiri dapat dituntut untuk tindak pidana omissi (kasus Regina versus Brimingham & Gloucester Railway). Perkembangan selanjutnya yaitu pada permulaan abad 20. Akan tetapi ada perbedaan mendasar antara pengadilan di Amerika dan pengadilan di Inggris yaitu [14]:

  1. Pengadilan di Amerika

Pengadilan Amerika merespon suasana politik di era kemajuan dengan memperluas pertanggungjawaban korporasi pada delik-delik mens rea dan dengan membuat tidak relevan tingkatan/kedudukan agen di dalam hirarki korporasi. Kasus yang menonjol adalah putusan Supreme Court tentang New York central & Hudson River R.R.v United States (1909) yang memperkuat/membenarkan larangan memberikan potongan harga (rebate) oleh perusahaan-perusahaan angkutan umum (common carriers) dalam perdagangan antar negara sebagaimana ditetapkan dalam Elkins Act 1903.

  1. Pengadilan di Inggris

Pengadilan Inggris menganut secara sempit alter ego atau teori organ (yaitu teori pertanggungjawaban korporasi pada delik-delik mens rea) yang menyatakan bahwa hanya pada perbuatan dari pejabat senior (yang merupakan otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Korporasi hanya bertanggungjawab untuk perbuatan-perbuatan dari alter ego-nya, maka pertanggungjawaban korporasi tidaklah bersifat vicarious karena perbuatan jahat atau kesengajaan tidaklah dihubungkan/dipersalahkan dari agen ke kepala (principal) tetapi lebih pada korporasi yang ditetapkan sesuai dengan tujuan hukum pidana, dibatasi pada pejabat senior dan para direkturnya.

Teori pidana terhadap hukum selanjutnya memunculkan konsep kejahatan korporasi (corporate crime). Yang dimaksud dengan corporate crime (kejahatan korporasi) adalah suatu tindakan yang berupa berbuat atau tidak berbuat oleh perkumpulan atau badan hukum melalui organ-organnya yang membawa keuntungan bagi badan hukum atau perkumpulan tersebut, tetapi dilakukan dengan melanggar aturan hukum yang termasuk golongan ketertiban umum sehingga dapat digolongkan ke dalam perbuatan pidana, yang membawa akibat kerugian terhadap orang lain atau terhadap masyarakat luas.

Suatu tindak pidana dilakukan oleh sebuah korporasi sehingga dibebankan tanggung jawab  pidana merupakan perkembangan teori baru dari teori-teori yang membebankan tanggungjawab perdata kepada badan hukum. Oleh karena itu muncul pro dan kontra  di antara para ahli tentang pemidanaan badan hukum/korporasi. Namun tren atau kecenderungan yang jelas secara universal adalah semakin lama semakin banyak  negara-negara di dunia yang menganut, mengatur, dan menyetujui diberlakukannya tindak pidana oleh badan hukum/korporasi ini.

Selanjutnya di berbagai negara, umumnya terjadi proses penentuan tindak pidana korporasi yang ‘’merangkak’’ (creeping corporate crime) dan ‘’berputar dalam lingkaran’’ (vicarious circle) dengan jalan sebagai berikut :

  1. Mula-mula yang bertanggungjawab terhadap suatu tindak pidana adalah pribadi-pribadi anggotanya/pemiliknya/pemegang sahamnya;
  2. Selanjutnya hanya pribadi pengurus (misalnya direktur pribadi) yang dapat dianggap pelaku tindak pidana, sedangkan perusahaan dianggap tidak mungkin melakukan tindak pidana;
  3. Perkembangan selanjutnya adalah telah diakui tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dalam kedudukannya selaku direktur perusahaan, jadi bukan hanya sebagai pribadi dalam kedudukannya selaku pribadi;
  4. Kemudian berkembang teori-teori hukum yang mengajarkan bahwa perusahaan-perusahaan juga dapat melakukan tindak pidana korporasi tetapi masih bersama-sama dengan direksinya;
  5. Berkembang teori yang mengajarkan bahwa perusahaan (korporasi) sendiri dapat melakukan tindak pidana secara penuh dengan atau tanpa tindak pidana yang dilakukan oleh para pengurusnya. Tindak pidana langsung dilakukan oleh badan hukum dan yang bertanggungjawab juga badan hukum, hal ini tejadi umumnya sejak setelah PD II;
  6. Perkembangan selanjutnya adalah bahwa perusahaan sendiri bersama-sama dengan para anggota/pemegang sahamnya dapat melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Misalnya melalui teori penerapan piercing the corporate veil;
  7. Tetapi perkembangan kemudian adalah membebankan kembali tindak pidana kepada para anggota/pemegang saham dari perusahaan tersebut, meskipun tindak pidana tersebut dilakukan oleh badan hukum. Misalnya lewat teori piercing the corporate veil. Jadi seperti dalam lingkaran yakni kembali lagi ke asal mula perkembangan tindak pidana korporasi tersebut.

Dalam perkembangan dewasa ini,[15] terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak ataupun negara.  Pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan ke dalam enam jenis yaitu : pelanggaran hukum administratif, pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan,  manufacturing dan persaingan dagang yang tidak fair. Mengenai pencemaran lingkungan, Clinard mengemukakan :

‘’…the country’s natural resources have been exploited without regard either to the harmfull effect on the current population or the possible detriment to future generations. Great and small rivers have been polluted with chemicals and other dischange, the air around industrial plants and in the cities has often become largerly unfit to breathe, fertile and beautiful lands have been ravaged by strip mining, and other natural resources have been want only destroyed”.[16]

Badan hukum dijadikan subjek hukum pidana di Indonesia, mulai dikenal sejak tahun 1951 yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang yang kemudian tidak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 8 Tahun 1962.  Setelah itu mulai dikenal secara luas pada tahun 1955 yaitu dengan keluarnya Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi Undang-undang No. 7/Drt/1955 dan Undang-undang No. 11/PNPS/1963 tentang Tindak Pidana Subversi. Dengan demikian mulai tahun 1955, dalam bidang-bidang tertentu diluar KUHPidana (tindak pidana khusus) badan hukum yang melakukan tindak pidana serta dijadikan subjek hukum pidana sudah dikenal dan ditetapkan dalam perundang-undangan di Indonesia.

Penerapan sanksi pidana bagi badan hukum atau korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan hidup bisa dilihat dalam teori Herbert L. Packer tentang teori penjatuhan pidana yaitu teori retribution, teori utilitarian dan teori behavioral.[17]  Menurut teori retribution (teori pembalasan) bahwa hakikat dan pembenaran dari pemidanaan itu adalah pembalasan. Seorang yang telah melakukan kejahatan harus dibalas dengan hukuman penderitaan yang setimpal sebagai tebusan dari kejahatan yang telah dilakukan. Menurut teori utilitarian (teori manfaat) bahwa hakikat dan pembenaran dari pemidanaan adalah terletak pada manfaat bagi si pelaku kejahatan agar tidak berbuat lagi, disamping bermanfaat terhadap orang lain/masyarakat guna mencegah tidak melakukan kejahatan. Menurut teori behavioral (teori perilaku), pembenaran dari pemidanaan adalah melalui pendekatan perilaku manusia atau orang yang melakukan kejahatan. Dengan mengetahui sebab-sebab orang berperilaku jahat maka dapat mengetahui bagaimana cara menyelesaikan, cara melumpuhkan atau mengasingkan ke penjara atau dengan cara membina agar tidak melakukan kejahatan lagi. Berdasarkan teori penjatuhan hukum pidana tersebut di atas,  teori yang dapat diterapkan pada korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan hidup adalah teori utilitarian dengan asumsi bahwa penerapan sanksi pidana bermanfaat mencegah korporasi tidak melakukan  pencemaran/perusakan lingkungan hidup.

Permasalahan selanjutnya terkait pertanggungjawaban pidana jika suatu pencemaran/perusakan lingkungan hidup dilakukan oleh badan hukum. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat. Namun ini juga tergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditentukan oleh pembuat undang-undang. Selama ini ada bermacam-macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang yaitu :

  1. Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang, perumusan ini diatur dalam KUHP (W.v.S);
  2. Yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang dan atau perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang-orang. Dalam hal perserikatan yang melakukan, yang dapat dipertanggungjawabkan ialah (anggota) pengurus. Perumusan ini terlihat pada Ordonansi Devisa, Undang-undang Penyelesaian Perburuhan dan Peraturan Kecelakaan;
  3. Yang dapat melakukan maupun yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang dan/atau perserikatan itu sendiri. Perumusan ini terlihat dalam Undang-undang Narkotika.

Berdasarkan ketiga perumusan yang pernah ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan di atas, maka ada 3 golongan yang dapat dipertanggungjawabkan apabila melakukan suatu tindak pidana, yaitu : orang sebagai pribadi yang melakukan, orang sebagai pengurus badan hukum dan badan hukum itu sendiri.

Permasalahan  dapat dipidananya badan hukum tidak terlepas pada sistem perumusan yang menyatakan bahwa badan hukum itu sendiri dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Adapun motivasi dari adanya sistem pertanggungjawaban badan hukum ini didasarkan pada perkembangan terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup.

         Selanjutnya apabila suatu badan hukum melakukan pencemaran lingkungan hidup maka yang dapat dituntut pertanggungjawaban adalah manusianya, korporasinya (badan hukum) dan bisa kedua-duanya.[18]  Adapun hukuman pidananya dapat dijatuhkan secara kumulatif, yaitu hukuman penjara dan hukuman denda. Pidana berupa denda harus dijatuhkan terhadap perusahaan berupa korporasi (badan hukum) dan pidana penjara bagi pengurus yang bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran tersebut.[19]

Bagan 1 :  Sanksi Pidana Dalam UPPLH

 

 

 

 

 

 

 

Selain pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan  tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.[20] Selain itu pelaku badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.[21]

Dalam hal pertanggungjawaban badan hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
  2. Korporasi dapat bersifat pivat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
  3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional maka orang alamiah (manages, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-punishment provision);
  4. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;
  5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
  6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Di Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengertian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
  7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;
  8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh korporasi tersebut.

Terkait dengan penegakan hukum lingkungan, sebagai contoh yaitu  data yang diambil dari Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) pada bulan Agustus 2003 yang lalu,  terdapat 12 (dua belas) kasus pidana yang diajukan ke pengadilan : 2 (dua) kasus dibebaskan, 6 (enam) kasus dihukum dengan hukuman percobaan, 3 (tiga) kasus dihukum karena tindak pidana pencemaran oleh perusahaan, tetapi yang dihukum hanya pada tingkat kepala bagian dan pelaku lapangan ‘’illegal logging’’, 1 (satu) kasus dijatuhi hukuman, tetapi tidak dapat dijalankan karena terdakwa telah meninggalkan Indonesia dan 1 (satu) kasus dijatuhi hukuman denda.[22] Berdasarkan hal tersebut di atas, masyarakat khususnya LSM Lingkungan telah memberikan apresiasi yang kurang memuaskan pada dunia peradilan (baik perdata dan pidana) di Indonesia yang belum mampu memberikan kontribusi terhadap pemulihan hak masyarakat yang dilanggar dan upaya-upaya litigasinya; serta hukuman tersebut dalam kasus-kasus pidana sama sekali tidak memberikan ‘’efek jera’’ (detterent effect); sehingga masyarakat dewasa ini mengharapkan adanya perubahan yang signifikan terhadap putusan yang berkeadilan dan bermanfaat yang lebih baik terhadap lingkungannya yang telah rusak dan tercemar tersebut, walaupun pada faktanya sangatlah syarat berbagai dimensi yang berkaitan pula dengan kebijakan perusahaan, keprofesionalan pelaksana, bencana alam, dan pengaruh elit politik sebagaimana dalam penyelesaian kasus lumpur “Lapindo’’, dan sebagainya.

  1. Upaya yang seharusnya dilaksanakan agar bentuk pertanggungjawaban pidana bagi Korporasi dapat berlaku secara efektif

Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal orang perorang atau kelompok orang sebagai subjek hukum, yaitu sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum mengacu kepada orang atau manusia.

Kejahatan korporasi dilakukan selain dalam skala nasional juga dilakukan dalam skala internasional. Ada beberapa contoh dimana perusahaan-perusahaan besar dunia yang melakukan kejahatan korporasi yang telah menimbulkan kerugian yang cukup besar kepada umat manusia, antara lain : terkurasnya sumber daya yang berasal dari sumber-sumber alam seperti menebang habis hutan, hasil tambang, kerusakan lingkungan seperti tercemarnya air, tanah, terbuangnya sampah dan limbah beracun misalnya : kasus lumpur PT Lapindo di Jawa Timur, tumpahnya minyak di teluk Meksiko dan beberapa tempat lain, kerusakan tanah akibat tambang emas PT Freeport di Papua, bocornya gas di Bhopal India atau  bocornya gas Chernobil (Ukraina) dan lain-lain.[23]

Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum[24] berskala nasional dan internasional yang merugikan masyarakat sebagaimana contoh di atas, maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.

Agar pengontrolan atau pengawasan melalui jalur hukum dapat berlaku secara efektif, maka hukum dalam aktivitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Lingkungan Hidup di Indonesia yang berfungsi untuk melindungi asset, alam lingkungan di Indonesia yang telah tercemar dan/ataupun dirusak tersebut.

Dalam kasus bocornya anjungan pengeboran minyak di laut Montara pada tahun 2009 nampaknya proses negosiasi yang semula terlihat mudah menjadi ruwet. Hal ini terlihat pihak PTTEP terus mengulur waktu penandatanganan MOU dengan berbagai alasan, contohnya : pergantian kabinet, banjir di Thailand, dan bolak-balik mengganti tim perunding. Kemudian pada bulan September 2011 Executive vice President PTTEP Group membuat pernyataan dengan memberi kesimpulan kebocoran minyak Montara tidak merusak lingkungan hidup dengan alasan sebagian besar tumpahan minyak Montara mengalir ke perairan Australia. Pada Mei 2012, PTTEP kembali menjanjikan CSR US$ 5 juta dengan permintaan poin yang menyebutkan perihal pencemaran minyak telah masuk ke wilayah Indonesia dihapuskan dalam draf MOU dan pemerintah Indonesia menolak syarat tersebut. Melihat gelagat buruk tersebut, pada akhir 2012 tim negosiasi merekomendasikan pemerintah Indonesia menempuh jalur hukum.[25]

Dalam kasus Montara, pemerintah bisa menempuh jalur hukum internasional, hukum pidana dan hukum perdata. Upaya jalur hukum internasional, Indonesia bisa memakai sejumlah Deklarasi Internasional di bidang lingkungan misalnya : Rio Declaration on Evironment 1992 dan Stockholm Declaration on Human Environment 1972. Pilihan berikutnya, pemerintah Indonesia dapat menuntut PTTEP ke jalur perdata; dengan menggugat PTTEP di Pengadilan Perth atau di Jakarta. Di Negara Australia, pihak Indonesia dapat menuntutnya dengan menggunakan berbagai ketentuan Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, Yurisprudensi Mahkamah Internasional, dan Undang-undang Lingkungan Hidup Australia. Adapun persengketaan di Jakarta, pemerintah Indonesia dapat menggunakan hukum perdata dan undang-undang lingkungan hidup Indonesia.

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi (Corporate Criminal Responsibility) dalam perundang-undangan lingkungan hidup meliputi sebagai berikut : [26]

  1. Siapa yang dipertanggungjawabkan

Formulasi suatu undang-undang dengan menjadikan badan hukum (korporasi) sebagai subjek tindak pidana merupakan fenomena dalam berbagai macam perundang-undangan misalnya UU Pasar Modal, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Lingkungan Hidup dan sebagainya.

Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana (salah satunya dalam UUPPLH) sejalan atau sesuai dengan perkembangan dunia Internasional yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana lingkungan hidup. Salah satunya adalah International Meeting Of Expert On The Use Of Criminal Sanction In The Protection of Environment, Internationally, Domestically and Regionally di Portland, Oregon, USA 19-23 March 1994. Menurut pertemuan para pakar internasional ini, nilai atau kepentingan yang perlu dilindungi oleh hukum pidana adalah lingkungan itu sendiri baik berupa natural environment maupun cultural environment. Selain itu perlindungan terhadap lingkungan ini harus ditempuh secara gabungan antara hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Sedangkan dalam menggunakan hukum pidana terhadap TPLH dimungkinkan Corporate Criminal Responsibility.

  1. Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana

Pada umumnya pembuat undang-undang menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dengan rumusan sebagai berikut : ‘’Jika tindakan pidana dilakukan oleh korporasi…dst.’’. Perumusan ini bisa dilihat dalam UU Psikotropika dsb., akan tetapi dalam undang-undang tersebut tidak secara jelas menentukan kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana.

  1. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan

Mengenai cara penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban badan hukum ini terdapat perbedaan pendapat. Soeprapto berpendapat bahwa tidaklah mungkin badan hukum dipertanggungjawaban juga atas perbuatan orang lain (manager) yang melakukan dengan sengaja. Hal itu tidak mungkin karena badan hukum tadi tidak ada unsur kesengajaan.

Terkait asas kesalahan dengan masalah pertanggungjawaban pidana korporasi ini maka menurut Van Bemmelem[27] persoalan tersebut akan timbul terutama pada delik-delik dengan unsur kealpaan (culpa) karena kealpaan ini (juga kesengajaan) dapat timbul dari perbuatan kerjasama (disadari maupun tidak) dari orang-orang tersebut.

Mengenai asas kesalahan Friedmann[28] mengungkapkan bahwa dalam hal public welfare offences, untuk dapat memidanakan korporasi jangan terlalu ditekankan pada segi unsur kesalahan. Sudah cukup apabila korporasi tersebut telah memenuhi perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Hal ini berarti bahwa untuk Indonesiapun dimungkinkan apabila korporasi dituduh berbuat suatu tindak pidana yang termasuk public welfare offences harus selalu diterapkan ajaran feit material dimana tidak diperlukan adanya unsur kesalahan (ajaran strict liability).

Selanjutnya apabila melihat teori atau doktrin direct corporate liability atau the identification doctrine, maka kesalahan terdapat pada pejabat senior, yaitu orang-orang tertentu yang berhubungan erat dengan korporasi dan dengan pengelolaan korporasi. Dengan kata lain bahwa perbuatan/delik dan kesalahan/sikap batin pejabat senior dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin perusahaan. Sedangkan unsur-unsur delik dapat dikumpulkan dari serangkaian perbuatan dan sikap batin dari beberapa pejabat senior tersebut, sehingga mengakibatkan tercemarnya dan/rusaknya lingkungan.

Terkait dengan perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan lingkungan hidup sebagaimana diungkapkan Muladi[29] bahwa dalam merumuskan tindak pidana lingkungan hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya  yang bersifat nyata (actual harm) tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial  baik terhadap lingkungan maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan ini untuk generic crime yang relatif berat sebaiknya dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Sedangkan untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crime) yang melekat pada hukum administratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan. Selanjutnya sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana tersebut dapat mencakup perbuatan sengaja (dolus, knowingly), sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis, recklessness) dan kealpaan (culpa, negligence).

Selain itu Muladi juga menyampaikan bahwa dalam merumuskan tindak pidana dalam perundang-undangan lingkungan hendaknya juga dipertimbangkan adanya dua macam elemen, yaitu elemen material (material element) yang mencakup adanya perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar atau bertentangan dengan standar lingkungan yang ada. Sedangkan elemen mental (mental element) mencakup pengertian bahwa berbuat atau tidak berbuat tersebut dilakukan dengan sengaja, recklessness (dolus eventualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence). Dikatakan oleh beliau bahwa pembagian seperti itu, biasa dikenal dalam sistem Anglo Saxon dimana hukum di Indonesia lebih banyak dipengaruhi Sistem Hukum Kontinental yang membedakan kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).

  1. Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan untuk korporasi

Penggunaan sanksi pidana yang selama ini ada pada umumnya ditujukan kepada kepentingan yang berupa nyawa, kemerdekaan/kebebasan atau harta benda manusia. Sedangkan sumber utama dari pencemaran/perusakan lingkungan adalah manusia itu sendiri dan sebenarnya hakikat dari pencemaran/perusakan lingkungan adalah adanya ketidaksamaan atau ketidakseimbangan dalam lingkungan hidup manusia itu sendiri. Sedangkan faktor menonjol yang dapat menggoncangkan atau mengganggu keseimbangan itu adalah perkembangan teknologi dan ledakan penduduk.[30]  Terhadap faktor yang menonjol sebagaimana telah dikemukakan di atas, sanksi pidana tidak dapat berbuat banyak. Oleh karena itu yang penting adalah memilih dan menetapkan pidana apa yang paling tepat. Sebagaimana dikemukakan oleh Bentham : punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious.[31]

Tujuan dari pemidanaan dalam tindak pidana lingkungan hidup dikatakan Muladi[32] sebagai berikut : Pertama, untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang. Kedua, mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup.

Jenis sanksi untuk korporasi menurut International Meeting of experts on the use of criminal sanction in the protection of environment, internationally, domestically and regionally di Portland Oregon USA 19-23 Maret 1994 bahwa semua sanksi kecuali pidana penjara dapat dikenakan kepada badan hukum. Adapun jenis-jenis sanksi untuk pelaku TPLH dapat berupa :

  1. Penjara (imprisonment).
  2. Sanksi  bernilai uang (monetary sanction).
  3. Mengganti keuntungan ekonomis (recoupe any economic benefit) yang diperoleh terpidana sebagai hasil kejahatannya.
  4. Mengganti (recover), semua atau sebagian biaya pengusutan/penyidikan dan melakukan perbaikan (reparation) setiap kerugian yang disebabkan oleh terpidana.
  5. Pidana tambahan berupa :
  6. Larangan melakukan perbuatan/aktivitas yang dapat menyebabkan berlanjutnya atau terulangnya kejahatan itu.
  7. Perintah untuk mengakhiri atau tidak melanjutkan kegiatan (untuk sementara atau selamanya), pencabutan ijin kegiatan, pembubaran usaha bisnis;
  8. Perampasan kekayaan (property/assets) dan hasil kejahatan dengan memberi perlindungan hak-hak pihak ketiga yang bonafit (jujur/dapat dipercaya/beritikat baik);
  9. Mengeluarkan atau mendiskualifikasi terpidana dari kontrak-kontrak pemerintah, keuntungan fiscal atau subsidi-subsidi;
  10. Memerintahkan pemecatan manajer dan mendiskualifikasi/membatalkan petugas dari jabatannya;
  11. Memerintahkan terpidana melakukan perbuatan untuk memperbaiki atau menghindari kerugian terhadap lingkungan;
  12. Mengharuskan terpidana mematuhi syarat-syarat/kondisi yang ditetapkan pengadilan dan untuk mencegah terpidana mengulangi lagi perbuatannya atau melakukan kejahatan lingkungan lainnya;
  13. Memerintahkan publikasi fakta-fakta yang berhubungan dengan putusan pengadilan;
  14. Memerintahkan terpidana untuk memberitahu orang-orang yang dirugikan oleh perbuatannya;
  15. Memerintahkan terpidana (apabila merupakan organisasi) untuk mengungkap/memberitahukan kepada publik di semua negara tempat beroperasinya organisasi yang dikenakan kepadanya kepada cabang-cabangnya, kepada para direktur, petugas, manajer, atau karyawannya;
  16. Memerintahkan terpidana untuk melakukan pelayanan/kerja sosial (community service).

Selanjutnya Peter Gilles[33] dalam criminal law mengungkapkan bahwa perusahaan/korporasi dapat melakukan banyak delik dengan batasan-batasan tertentu. Salah satu pertimbangan yang relevan adalah masalah pidana. Dikatakan secara normal, pidana yang dapat dikenakan kepada perusahaan adalah pidana denda. Oleh karena itu apabila suatu delik hanya diancam pidana penjara tidaklah mungkin dikenakan kepada perusahaan. Sebagai contoh di Australia, perusahaan akan dinyatakan tidak mampu melakukan pembunuhan (murder) karena delik tersebut hanya diancam dengan pidana penjara.

Selama ini sanksi pidana yang banyak dijatuhkan terhadap badan hukum yang mencemari atau merusak lingkungan hidup adalah sanksi pidana denda. Selama ini kecenderungan untuk menggunakan sanksi pidana adalah sebagai sanksi subsider atau sebagai “ultimum remedium” (obat terakhir) dalam arti lebih mendahulukan penerapan sanksi administrasi dan sanksi perdata. Apabila kedua sanksi ini tidak berhasil, barulah kemudian digunakan sanksi pidana. Akan tetapi kecenderungan penerapan sanksi ini di dalam masalah pencemaran lingkungan hidup menimbulkan beberapa kelemahan diantaranya :

  1. Pada umumnya proses perkara perdata relatif memerlukan waktu yang cukup lama, karena besar kemungkinan pihak pencemar akan mengulur-ulur waktu sidang atau waktu pelaksanaan eksekusi dengan cara mengajukan banding atau kasasi, sementara pencemaran terus juga berlangsung dengan segala macam akibatnya;
  2. Jangka waktu pemulihan sulit dilakukan dengan segera dan juga memerlukan waktu yang cukup lama;
  3. Dengan tidak menerapkan sanksi pidana, tidak menutup kemungkinan pencemar atau pencemar lain yang potensial untuk tidak melakukan pencemaran, dengan kata lain “deterren effect” (efek pencegahan) dari sanksi-sanksi lain tidak dapat diharapkan dengan baik;
  4. Penerapan sanksi administratif dapat mengakibatkan penutupan perusahaan industri yang membawa akibat pula kepada pekerja, pengangguran akan menjadi bertambah, dapat menimbulkan kejahatan dan kerawanan sosial ekonomi lainnya.[34]

Sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia dan dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan serta merta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya, sedangkan penerapan sanksi pidana dalam UUPPLH pada kenyataanya jarang sekali  diterapkan kepada industri yang  mencemari lingkungan sebagaimana mestinya. Memang disadari  bahwa  pencemaran atau perusakan lingkungan ini tidak menimbulkan korban yang nampak seketika, seperti kejahatan tradisional/konvensional lainnya (pembunuhan, pencurian dsb). Akan tetapi pencemaran yang telah memakan waktu sekian lama dapat mengakibatkan bahaya dan korban terhadap kepentingan umum yang lebih besar baik terhadap manusia sebagai anggota masyarakat, korban yang dialami perusahaan ataupun negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah yang mengalami pencemaran tersebut. Sehingga korban atau kerugian yang diderita meliputi kerugian materi dan kerugian non material, sedangkan penerapan sanksi pidana itu sendiri tidak dimaksudkan hanya dengan melihat besar kecilnya pencemaran atau perusakan lingkungan yang timbul, melainkan penerapan sanksi pidana dalam UUPPLH bermanfaat agar perusahaan atau badan hukum mematuhi aturan yang ada dalam UUPPLH dan mencegah terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan hidup.

Disamping adanya sanksi pidana, UUPPLH ini juga memuat tindakan tata tertib kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang dapat merupakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 119 UUPPLH.[35] Penerapan sanksi pidana dalam teori ilmu hukum pidana dikatakan sebagai “ultimum remedium” atau sebagai senjata terakhir. Hal ini berarti bahwa sanksi pidana baru diterapkan apabila sanksi administrasi dan/atau sanksi perdata tidak berhasil untuk menanggulangi masalah atau mencegah suatu perbuatan anti sosial dalam masyarakat. Kebijakan penegakan hukum tersebut pada umumnya dapat diterapkan di negara-negara maju dan ini dapat dipahami mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusahanya. Sementara di negara-negara berkembang, seperti halnya di Indonesia, merupakan hal yang sering kita jumpai di mana masyarakat di dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari sering mengabaikan kelestarian lingkungan alam sekitarnya. Demikian pula dengan para pengusaha atau badan hukum yang bergerak di bidang industri, sehingga limbah industri mereka buang ke dalam sungai.

Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan ini, seperti dikemukakan Muladi hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan maupun kesehatan umum tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikualifikasi. Sehubungan dengan ini generic crime yang relatif berat sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes) yang melekat pada hukum administrasi dan relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan.[36]

Di Amerika Serikat sanksi pidana  dipergunakan pada urutan terakhir sekali, yaitu sebagai “ultimum remedium”. Kebijakan penegakan hukum seperti ini bisa dipahami mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusaha di negara maju tersebut. Mereka yang berpendapat bahwa sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan terhadap badan hukum disebabkan karena perkembangan dalam ilmu hukum pidana bahwa tidak hanya orang seorang atau kelompok orang (seperti dalam Pasal 55 KUHPidana) saja yang dapat dijatuhi sanksi pidana, tetapi berkembang menjadi badan hukum atau korporasi juga dapat dijatuhi sanksi pidana penjara melalui pengurus, direktur atau karyawan dari badan hukum itu (fysiek daderschap). Namun dalam praktik, penegakan hukumnya tidak semudah membalikan telapak tangan, ada beberapa hambatan, seperti kesulitan dalam pembuktian, mengingat dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran melibatkan banyak dimensi, seperti keprofesionalan aparat (melibatkan para ahli lingkungan) yang dimulai dari awal penyelidikan hingga akhir perkaranya, dan biaya serta waktu yang tidak sedikit.

Berdasarkan ketentuan Pasal 116 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH, maka badan hukum termasuk dalam subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana, apabila melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut. Oleh karenanya, diharapkan para pengusaha, pengurus, serta karyawannya berhati-hati dalam menjalankan perusahaannya, jangan sampai mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, karena dapat dipidana, selain harus membayar denda dan/atau pun tindakan lainnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya.

Apabila melihat sejarah perkembangan dimasukannya badan hukum sebagai subjek hukum dalam hukum pidana di luar KUHP yang dimulai sejak tahun 1951 (vide UU No.17 Tahun 1951 jo Perpu No.8 Tahun 1962; UU No.7/Drt/1955; UU No.11/PNPS/1963), maka aspek yang mempengaruhi perkembangan dijadikannya badan hukum sebagai subjek hukum pidana adalah disebabkan perkembangan di bidang perekonomian. Perkembangan ini dimulai sejak dasa warsa 1950-an dengan adanya proses internasionalisasi yang menembus batas-batas wilayah negara dan semakin banyaknya kegiatan kerjasama ekonomi, bantuan ekonomi internasional, serta penanaman modal asing. Disamping itu juga merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak atau negara. Dari hasil-hasil penelitian tentang kejahatan korporasi atau badan hukum, menunjukkan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan ke dalam enam jenis: yaitu pelanggaran hukum administrasi, pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan, manufakturing dan persaingan dagang yang tidak fair.

Tindak pidana di bidang lingkungan saat ini harus lebih diefektifkan sanksinya, dengan tujuan : Pertama : Untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang; Kedua : Mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian tindak pidana lingkungan sepenuhnya tergantung pada hukum lain. Kondisi ini dianggap wajar, namun mengingat pentingnya lingkungan hidup yang baik dan sehat dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan yang dilindungi baik yang bersifat antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crime) perlu dilengkapi dengan pengaturan yang bersifat umum dan mandiri terlepas dari hukum lain.

Penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi diperlukan karena kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan baik fisik, sosial maupun ekonomi sangat besar. Oleh karena itu perlu mengorganisasikan secara sistematis kebijakan kriminal (criminal policy)[37] dengan menggunakan secara berpasangan langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non yuridis dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam mengatasi kendala-kendala di atas.

Selanjutnya dalam kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan ultimum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium namun menurut Clinard and Yeager[38] diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

  1. The degree of loss to the public
  2. The level o complicity by high corporate managers
  3. The duration of the violation
  4. The frequency of the violation
  5. Evidence on intent to violate
  6. Evidence of extortion, as in bribery cases
  7. The degree of notoriety engendered by the media
  8. Precedent in law
  9. The history of serious violation by the corporation
  10. Deterrence potential
  11. The degree of cooperation evinced by the corporation.

Dalam hal hukum pidana dipilih maka sanksi-sanksi yang dapat dimanfaatkan adalah sebagai berikut (sepanjang hukum positif memungkinkan), yaitu : (1) denda; (2) pidana bersyarat/pidana pengawasan; (3) Pidana kerja sosial; (4) Pengumuman keputusan hakim; (5) Ganti rugi dan pelbagai  sistem tindakan tata tertib.

         Berbagai upaya dilakukan dalam penanganan kejahatan lingkungan, salah satunya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan kerjasama penegakan hukum dengan pendekatan multi-door (terpadu)[39] ada 43 kasus kejahatan Sumber Daya Alam dan lingkungan di hutan dan lahan gambut yang ditangani aparat penegak hukum. Dalam praktiknya, ada berbagai kendala yang muncul diantaranya mencari ahli kehutanan, ahli perkebunan, ahli pidana korporasi memerlukan waktu yang lama, saksi atau calon tersangka tidak diketahui keberadaannya, terutama warga asing serta kondisi geografis sulit dijangkau.[40]  Salah satu aspek penting dalam pendekatan multi-door adalah pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability).

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi (Corporate Criminal Responsibility) dalam perundang-undangan lingkungan hidup hendaknya mengacu kepada 4 (empat) hal, meliputi sebagai berikut : [41]

  • Siapa yang dipertanggungjawabkan;
  • Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana;
  • Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; dan
  • Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Keempat hal tersebut di atas, telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya pada halaman 20 dst.

  1. Penutup
  1. Simpulan
  2. Bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup seringkali mengalami berbagai kendala diantaranya dalam mencari para ahli, seperti : ahli kehutanan, ahli perkebunan, ahli pidana korporasi, dan ahli lainnya memerlukan waktu yang relatif cukup lama, para saksi atau calon tersangka sudah tidak diketahui keberadaannya, terutama bagi warga negara asing serta kondisi geografis yang sulit dijangkau yang harus memerlukan pula biaya dan peralatan yang cukup besar.
  3. Kejahatan korporasi melalui perusahaan-perusahaan besar dapat terjadi dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi diperlukan karena kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan baik fisik, sosial maupun ekonomi sangat besar. Contohnya, seperti dalam kasus Montara maka perlu adanya upaya-upaya mengorganisasikan secara sistematis kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan secara berpasangan langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non yuridis dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam mengatasi kendala-kendala di atas. Selain itu  diperlukan  kerjasama penegakan hukum dengan pendekatan multi-door (terpadu). Salah satu aspek penting dalam pendekatan multi-door adalah pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability).
  4. Saran

Pengaturan tindak pidana lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat melakukan rekayasa sosial (social engineering), masih memerlukan penyempurnaan ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni : perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan sanksi (sanction) baik yang merupakan pidana (punishment) maupun tindakan pidana tertib (treatment).

[1] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang, 1997,  hlm. 196.

[2] http// penegakan hukum. menlh.go.id,  Berharap UU Lingkungan Hidup Tegak Lurus,  diakses 5 Desember 2014 pk. 20.00 wib.

[3]  Lihat dalam Pasal 44 UUPPLH yang menentukan : Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasonal dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

[4]  Dalam Koesnadi Hardjasoemantri,  Hukum Tata Lingkungan,  Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1999,  hlm.  419.

[5]  Dalam sistem hukum di Indonesia, pengertian korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian badan hukum atau perusahaan. Sebagaimana pengertian korporasi yang dikemukakan Sutan Remi Sjahdeini dengan mendefinisikan pengertian dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti sempit yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Sedangkan dalam arti luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum pidana yaitu korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum, lihat dalam  Kristian,  Hukum Korporasi Ditinjau Dalam The United Nations Global Compact (Suatu Pengantar),  Nuansa Aulia, Bandung, 2014, hlm. 1.

[6] Kasus ini sebenarnya kasus lama yang terjadi pada tahun 2009 yang lalu yaitu masalah kebocoran sumur minyak Montara di Laut Timor. Kasus inipun dipertanyakan oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat  Ferdi Tanoni karena langkah Kementrian Lingkungan membuka lagi kasus yang dianggap mengendap terlalu lama. Padahal ketika warga Timor Barat gencar menuntut ganti rugi kepada pemerintah Australia, pemerintah Indonesia terkesan tak serius mendukung mereka. lihat dalam Tempo, Mengejar Ganti Rugi Tumpahan Montara, 8 Juni 2014, hlm. 80-81.

[7] Ibid.

[8] Ibid. hlm. 81.

[9] Istilah badan hukum yang biasanya dikenal dalam hukum perdata adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau mnggugat di depan hakim, lihat Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1991, .h. 19. Sedangkan  di dalam hukum pidana yang sering dikenal adalah istilah korporasi, yang pengertiannya lebih luas dari badan hukum. Sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum sedangkan menurut hukum perdata korporasi adalah badan hukum, lihat Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, STH, Bandung, 1991, hlm. 20.

[10] Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, ctk.kedua,  Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 207.

[11]Dalam hubungan ini Pompe membahas tentang pembuat pidana secara rohaniah. Roling menandai kejadian-kejadian ini dengan bersumber pada pemikiran bahwa si pembuat perbuatan pidana yang memenuhi fungsi menjual dan lain-lain sebagai pembuat pidana fungsional. Mulder menganjurkan istilah pembuat perbuatan pidana yang berwenang mengatur (beschikkingsdader).

[12] Sebagaimana ditentukan dalam Paragraf 6 ayat (2) yang berbunyi : badan-badan hukum dari perseroan-perseroan sama halnya dengan perorangan (natuurlijkpersoon) dapat dijatuhkan pidana.

[13] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana (Sari Kuliah II), Program Magister Hukum UNDIP, Semarang, 2001, hlm. 148-153.

[14] Ibid., hlm.  150.

[15]  Teori-teori tentang pemidanaan terhadap korporasi belum begitu lama berkembang. Di Amerika Serikat baru berkembang sejak tahun 1909 yaitu dalam kasus New York Central Hudson River R.R. versus United States. Di Belanda baru berkembang sejak tahun 1950 setelah disebut dalam Wet Op de Economische Delicten tetapi dalam hukum pidana Belanda pada umunya baru resmi berlaku sejak tanggal 1 September 1976 dan di Indonesia sendiri baru diperkenalkan sejak tahun 1951 dalam Undang-undang Penimbunan Barang dan tahun 1955 dalam UU tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya terbit beberapa undang-undang lainnya yang memungkinkan tindak pidana dilakukan perusahaan/korporasi.

[16] Dalam M. Hamdan, op.cit. hlm. 63.

[17] Ibid.

[18] Lobby Loqman dalam M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 14.

[19] Mardjono Reksodipuro dalam  M. Hamdan, Ibid. hlm.  15

[20] Lihat Pasal 116 ayat (1) UUPPLH.

[21] Lihat dalam Pasal 119 UUPPLH.

[22] Indonesian Center For Environmental Law (ICEL), Penegakan Hukum Lingkungan Terintegrasi Konsep & Langkah-angkah Pengaktualisasian, Agustus 2003.

[23]   Munir Fuadi, op cit., h. 207.

[24]  Istilah badan hukum yang biasanya dikenal dalam hukum perdata adalah suatu badan atau perkumpuan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan, seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim, lihat Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1991, h. 19. Sedangkan  di dalam hukum pidana yang sering dikenal adalah istilah korporasi, yang pengertiannya lebih luas dari badan hukum.   Korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi adalah badan hukum, lihat Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,  STH, Bandung,  1991, hlm. 20.

[25]   Tempo, Mengejar Ganti Rugi Tumpahan Montara, 8 Juni 2014, hlm. 80-81.

[26] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan  Kejahatan, Citra Adiya Bakti, Bandung, 2001.  hlm. 156.

 

[27] Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Bandung : Citra Aditya Bakti,   Bandung,  1993. hlm. 78

[28] Ibid.

[29] Muladi.op. cit., hlm. 203.

[30] Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hlm. 131.

[31] Ibid. hlm. 132.

[32] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, op. cit., hlm. 197.

[33] Dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, op. cit. hlm. 134.

[34] Hamdan, op cit., hlm. 18.

[35] Pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa :

  1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
  2. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
  3. Perbaikan akibat tindak pidana;
  4. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau;
  5. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

[36] Muladi, Op.cit., hlm. 196.

[37] Muladi, Op.cit., hlm.172.

[38] Ibid.

[39]  http://www. Mongabay.co.id/2013, Penegakan hukum terpadu ini diharapkan mampu menjerat pelaku kejahatan dengan hukum berlapis sehingga bisa memberikan efek jera, Mongabay. Co.id. 43 Kasus Kejahatan Lingkungan Hidup Ditangani dengan Penegakan Hukum Terpadu, diakses  tanggal 6 Desember 2014 Pk. 21.30 WIB.

[40] Ibid.

[41] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adiya Bakti,Bandung, op.cit.

 

KEBIJAKAN LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MENUJU TERCIPTANYA PEMERATAAN PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL

KEBIJAKAN LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MENUJU TERCIPTANYA PEMERATAAN PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL

BERDASARKAN KEADILAN YANG SUBSTANSIAL

 

Oleh : C a h y o n o[1]

  1. PENDAHULUAN

 

Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, pembangunan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade belakangan ini telah menghasilkan banyak kemajuan. Kemajuan tersebut didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, diantaranya kebijakan pembangunan di bidang ekonomi. Namun demikian, meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai, antara lain ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi, masih banyak pula tantangan atau persoalan dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta.

Peluang-peluang usaha yang tercipta selama ini kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.

Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mampu mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik.

Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak bersaing.

[1] Hakim Pengadilan Negeri Sleman.

Download artikel lengkap :

Persaingan Usaha

Demokrasi Liberal ala Amerika Vs. Demokrasi Pancasila di Era Globalisasi

Demokrasi Liberal ala Amerika Vs. Demokrasi Pancasila  di Era Globalisasi

Oleh: Cahyono

(Hakim Pengadilan Negeri Sleman)

 

      Sistem hukum tidak akan mungkin secara mutlak menutup diri terhadap perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat. Dalam hal ini perubahan sosial dimaknai sebagai penyebab perubahan hukum. Sebagaimana diungkapkan Arnold M. Rose[1] bahwa ada 3 teori umum tentang sebab utama terjadinya perubahan-perubahan sosial adalah:

  1. Kumulasi yang progresif daripada penemuan-penemuan di bidang teknologi;
  2. Kontak atau konflik antara kebudayaan;
  3. Gerakan sosial.

Selain itu Wiliam F. Ogburn menyatakan juga bahwa penemuan-penemuan baru di bidang teknologi merupakan faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial oleh karena penemuan-penemuan tersebut mempunyai daya berkembang yang kuat[2].Perubahan-perubahan sosial dalam suatu negara terjadi karena adanya globalisasi. Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses global. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan[3]. Salah satu dari pengaruh globalisasi tersebut masuk dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia[4] dan selama ini demokrasi yang dianggap ideal adalah demokrasi liberal ‘’ala amerika’’. Demokrasi berciri khas Amerika ini merupakan bagian dari proses Amerikanisasi Politik di dunia.Perkembangan demokrasi di dunia dipengaruhi oleh situasi dunia Internasional dimana pada abad ke 21 tidak lagi sama dengan abad sebelumnya. Perang dingin diantara dua negara adidaya sudah hilang tak berbekas. Namun negara besar di belakang perang dingin tetap memainkan perannya secara menonjol. Amerika Serikat masih tetap hadir sebagai kekuatan besar di berbagai wilayah di dunia.

lebih lengkap download artikel di bawah ini :

DEMOKRASI PANCASILA

 

PEMBATASAN ASAS “FREEDOM OF CONTRACT” DALAM PERJANJIAN KOMERSIAL

PEMBATASAN ASAS  “FREEDOM OF CONTRACT” DALAM PERJANJIAN KOMERSIAL

 

Oleh : Cahyono

  1. PENDAHULUAN

Perundang-undangan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Prof. Subekti menyimpulkan bahwa dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dikandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian (kebebasan berkontrak). Perkataan “semua” mengandung pengertian tentang diperbolehkannya membuat suatu perjanjian apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya, seperti undang-undang, sedangkan Pasal-Pasal lainnya dari hukum perjanjian hanya berlaku bila atau sekadar tidak diatur atau tidak terdapat dalam perjanjian yang dibuat itu (Subekti, 1984).

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas sebagai pancaran hak asasinya. Asas ini berhubungan pula dengan isi perjanjian, yaitu untuk menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perkataan “semua”  mengandung pengertian seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang (Badrulzaman, 2001).

Kebebasan berkontrak berarti kebebasan untuk memilih dan membuat kontrak, kebebasan untuk membuat dan tidak membuat kontrak, dan kebebasan para pihak untuk menentukan isi dan janji mereka, dan kebebasan untuk memilih subjek perjanjian. Dalam hukum kontrak, kebebasan berkontrak memiliki makna yang positif dan negatif. Positif dalam arti para pihak memiliki kebebasan  untuk membuat kontrak yang mencerminkan kehendak bebas para pihak, dan negatif berarti para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang mengikat itu tidak mengaturnya (Khairandy, 2003:42).

Kebebasan berkontrak (Freedom of Contract), hingga saat ini tetap menjadi asas penting dalam sistem hukum perjanjian baik dalam civil law system, common law system maupun dalam sistem hukum lainnya. Hal ini dikarenakan, Pertama, asas kebebasan berkontrak merupakan suatu azas yang bersifat universal yang berlaku disemua negara di dunia ini. Kedua, asas kebebasan berkontrak ini mengandung makna sebagai suatu perwujudan dari kehendak bebas para pihak dalam suatu perjanjian, yang berarti juga sebagai pancaran atas pengakuan hak  asasi manusia (Rahman, 2003:15).

Kebebasan berkontrak berkembang sejak lama seiring dengan berkembangnya ajaran laissez faire-nya Adam Smith yang menekankan prinsip non intervensi oleh negara terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Smith menginginkan suatu  political economy, agar perundang-undangan tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak, karena kebebasan ini sangat penting bagi kelanjutan perdagangan dan industri. Ajaran para filosof ekonom pada abad XIX seperti dinyatakan oleh Adam Smith dan Jeremy Bentham tersebut, berpandangan bahwa tujuan utama legislasi dan pemikiran sosial harus mampu menciptakan the greatest happiness for the greatest number. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu yang titik tolaknya adalah kepentingan individu pula, dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak (Sjahdeini, 1993:23).

Dalam perkembangannya ternyata asas kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan, karena asas ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah, maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Dalam perkembangannya asas ini, menimbulkan kepincangan dalam kehidupan masyarakat, sehingga negara perlu turut campur tangan melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan dari asas kebebasan berkontrak untuk melindungi pihak yang lemah (Sjahdeini, 1993:17).

Fenomena adanya ketidakseimbangan dalam berkontrak sebagaimana tersebut di atas dapat dicermati dari beberapa model kontrak, terutama kontrak-kontrak konsumen dalam bentuk standar/baku yang didalamnya memuat klausul-klausul yang isinya (cenderung) berat sebelah. Dalam praktik pemberian kredit di lingkungan perbankan, misal terdapat klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian, atau klausul yang membebaskan bank dari kerugian nasabah  sebagai akibat tindakan bank. Dalam kontrak sewa beli, misalnya terdapat klausul yang berisi kewajiban pembayaran seluruhnya dan seketika apabila pembeli sewa menunggak pembayaran dua kali berturut-turut. Dalam kontrak jual-beli, misalnya terdapat klausul barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan (Hernoko, 2008:3; Sjahdeini, 1993:193-239; Hatta, 2000).

Problematika di atas tentunya merupakan tantangan bagi para yuris untuk memberikan jalan keluar terbaik demi terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak (win-win solution contract), disatu sisi memberikan kepastian hukum dan disisi lain memberikan keadilan. Meskipun disadari untuk memadukan kepastian hukum dan keadilan, merupakan perbuatan yang amat sulit, namun melalui instrumen kontrak yang mampu mengakomodir perbedaan kepentingan secara proporsional, maka dilema pertentangan “semu” antara kepastian hukum dan keadilan tersebut akan dapat dieliminir. Bahkan akan menjadi suatu keniscayaan terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak (Hernoko, 2008:6).

Dari deskripsi tersebut di atas terdapat suatu permasalahan untuk selanjutnya dilakukan pembahasan, yaitu bagaimanakah pembatasan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang dilakukan dalam perjanjian komersial?

 

  1. PEMBAHASAN

A. Asas Kebebasan Berkontrak

        Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum, namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh faham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance (dan semakin ditumbuhkembangkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah periode Revolusi Perancis. Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas (Sjahdeini, 1993:75; Badrulzaman, :110).

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan)”. Menurut faham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak (Hernoko, 2008:94).

Menurut Treitel, asas kebebasan berkontrak dalam sistem hukum Inggris digunakan untuk menunjuk kepada dua asas umum (general principle). Pertama, mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak. Asas ini tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian oleh para pihak. Ruang lingkupnya meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat. Kedua, mengemukakan bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian (Sjahdeini, 1993:38-39;  Suryono, 2010:350).

Di Amerika Serikat, kebebasan berkontrak adalah kehendak yang bebas untuk membuat atau tidak membuat suatu perikatan yang mengikat mengenai urusan-urusan pribadi seseorang, termasuk hak untuk membuat perjanjia-perjanjian kerja, dan untuk menentukan syarat-syarat yang dianggap baik sebagai hasil perundingan atau tawar-menawar dengan pihak lainnya. Termasuk pula hak untuk menerima kontrak yang diusulkan pihak lainnya (Sjahdeini, 1993:45).

Dalam doktrin klasik hukum kontrak Perancis dianut paham bahwa kebebasan berkontrak berkaitan dengan kehendak bebas para pihak. Para pihak memiliki otonomi kehendak, yakni kehendak untuk menentukan hukumnya sendiri. Kewajiban kontraktual bersumber dari kehendak para pihak yang menjadi dasar kontrak. Doktrin ini menekankan pada kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama (ombenoemde, innominat contracten); sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, para pihak bebas membuat kontrak yang diinginkan (Khairandy, 2003:91).

Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 ayat (1) BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain, sebagai berikut (Suryono, 2009:351-353,  Hernoko, 2008:102-103) :

  1. Pasal 1320 ayat (1) jo Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata

Pasal 1320 ayat (1) menyatakan sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.

Berdasar dua pasal dalam KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut Contradictio interminis, adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat.

Adanya konsensus dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati, konsekuensinya hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.

Cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut, seolah-olah membuat pernyataan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian dan mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi yang membuatnya. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketentuan umum dan kesusilaan” (Subekti, 1984:5).

Perkataan “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas ini berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat (Badrulzaman, 2001:84).

 

  1. Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 KUH Perdata

Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata menyatakan salah satu syarat sahnya perjanjian apabila dilakukan atas “suatu sebab yang halal”. Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Dapat disimpulkan, bahwa asalkan bukan karena sebab (causa) yang halal (dilarang) oleh undang-undang, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.

  1. Pasal 1329 jo. Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata

Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan : “setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undang-undang”. Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan “tidak cakap untuk membuat perjanjian” adalah :

  1. Orang-orang yang belum dewasa ;
  2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;
  • Wanita yang sudah bersuami.

Pasal 1331 KUH Perdata menyatakan “orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka perbuat dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan dalam undang-undang”.

Dapat disimpulkan bahwa KUH Perdata tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendaki. Undang-undang hanya menentukan bahwa orang-orang tertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian. Setiap orang bebas untuk memilih pihak dengan siapa membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Bahkan, apabila seseorang membuat perjanjian dengan lainnya yang menurut undang-undang tidak cakap membuat perjanjian, maka perjanjian tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

  1. Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian-perjanjian”. Pasal ini menegaskan bahwa asalkan menyangkut barang-barang yang bernilai ekonomis, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.
  2. Pasal 1335 KUH Perdata yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.
  3. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
  4. Pasal 1339 KUH Perdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan unang-undang. Kebiasaan yang dimaksud bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
  5. Pasal 1347 KUH Perdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.
  6. Ketentuan Buku III KUH Perdata kebanyakan bersifat hukum pelengkap (anvullend recht, optional) artinya para pihak dapat secara bebas membuat syarat-syarat atau aturan tersendiri dalam suatu perjanjian menyimpang dari ketentuan undang-undang, namun jika para pihak tidak mengatur dalam perjanjian, maka ketentuan Buku III KUH Perdata akan melengkapinya untuk mencegah adanya kekosongan hukum sesuai dengan isi materi perjanjian yang dikehendaki para pihak.
  7. Buku III KUH Perdata, tidak melarang kepada seseorang untuk membuat perjanjian itu dalam bentuk tertentu, sehingga para pihak dapat secara bebas untuk membuat perjanjian secara lisan ataupun tertulis, terkecuali untuk perjanjian tertentu harus dalam bentuk akta otentik.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi :

  1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
  2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
  3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
  4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.
  5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
  6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Sjahdeini, 1993:47).

Dalam hal pembuatan kontrak maka para pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak.
  2. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai causa.
  3. Tidak mengandung causa palsu (dilarang UU).
  4. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum.
  5. Harus dilaksanakan dengan itikad baik (Hernoko, 2008, 103).

 

B.Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak

                Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya bergeser ke arah paradigma kepatutan. Walaupun kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum perjanjian baik dalam civil law maupun common law, tetapi ia tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad sembilan belas. Sekarang kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta dalam praktek-praktek kegiatan ekonomi dalam masyarakat (Khairandy, 2003:2).

Kebebasan berkontrak memang perlu pembatasan, dikarenakan faktanya kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian komersial sering kali tidak seimbang, sehingga dimungkinkan sekali pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar yang lemah dalam suatu perjanjian akan banyak dirugikan. Lebih-lebih jika pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi yang kuat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah untuk keuntungan bagi pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi kuat tersebut. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan peraturan hukum yang adil.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pembatasan kebebasan berkontrak, diantaranya (Patrik, 1986:9-10; lihat juga Sofwan; Khairandy, 2003:3) :

  1. Makin berpengaruhnya ajaran itikad baik dimana itikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya perjanjian ;
    1. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan ;
    2. Berkembangnya lapangan ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum, perseroan-perseroan dan golongan-golongan masyarakat lain, seperti buruh dan tani ;
    3. Berkembangnya aliran dalam masyarakat yang menginginkan kesejahteraan sosial ;
    4. Keinginan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah.

Pembatasan kebebasan berkontrak dari negara, misalnya, nampak sekali dalam perundang-undangan untuk menentukan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan polis asuransi, upah minimum, kondisi kerja dan syarat-syarat kerja, serta program-program asuransi bagi pekerja yang diharuskan sehubungan dengan perjanjian kerja antara pengusaha dan para pekerjanya. Di Amerika Serikat, misalnya campur tangan negara diterapkan pada hukum perburuhan, hukum anti trust, peraturan-peraturan bisnis, dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, pembatasan asas ini, nampak dalam ketentuan berbagai pasal dalam KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan diatas, yaitu : 1320, 1330, 1332, 1335, 1337, 1338, 1339.

Pengadilan dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak juga diberikan sepenuhnya untuk membatasi asas tersebut, apabila memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi dan kewenangan Hakim itu sendiri yang mempunyai otonomi kebebasan yang meliputi (Sutantio, 1990:144) :

  1. Menafsirkan peraturan perundang-undangan ;
  2. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum ;
  3. Menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan perundang-undangan ;
  4. Dibenarkan pula melakukan contra legem apabila ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum dan ;
  5. Memiliki otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi.

Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak, apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Asas kebebasan berkontrak tidak lagi bersifat absolut, karena dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang, sehingga terjadi suatu penyalahgunaan kesempatan atau keadaan (misbruik van omstandigheden) (Atmadja, 1987:45).

Hakim memiliki kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran rasa keadilan. Dalam konteks hukum perjanjian, kewenangan tersebut meliputi kewenangan untuk mengurangi, bahkan meniadakan sama sekali suatu kewajiban kontraktual dari suatu perjanjian yang mengandung ketidakadilan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yaitu merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi perjanjian harus memuat nilai-nilai keadilan, yaitu suatu kepatutan yang berkembang dalam masyarakat (Khairandy, 2003, 35, Subekti, 1984:43, Mertokusumo, 1993:71).

Melalui interprestasi yang baik, hukum akan hidup dari masa ke masa dan memberikan rasa keadilan bagi mereka yang mendambakannya. Ketika menghadapi kasus ataupun sengketa yang mengandung keadaan tertentu atau yang belum diatur dalam perundang-undangan, ataupun telah diatur dalam perundang-undangan, namun substansinya terlalu umum, abstrak, dan bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak sesuai dengan kepatutan; maka dalam keadaan seperti ini, hakim harus mengfungsikan dirinya sebagai “judges as laws maker”. Penemuan hukum yang dilakukan tidak sekedar menginterprestasi/melaksanakan undang-undang saja, tetapi juga penemuan hukum, dalam arti melakukan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Setiawan, 1991:140-141;  Lotulung, 1999:55; Harahap, 1977:184; Mertokusumo, 1993:3).

  

II.KESIMPULAN

                     Dari apa yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada kebebasan berkontrak (freedom of contract)   yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan. Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk., 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya, 1977, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Buku Kesatu, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Perjanjian, Yogyakarta, LaksBang Mediatama.

Khairandi, Ridwan, 2003, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Pascasarjana.

Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya.

Patrik, Purwahid, 1986, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung, PT. Alumni.

Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia.

Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa.

 

JURNAL/MAJALAH

Atmadja, Asikin R.Z. Kesuma, 1967, Pembatasa Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan Tahun II, No. 27, Februari.

Lotulung, Paulus Effendi, 1999, Peranan Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 8.

Sutantio, Retnowulan, 1990, Perjanjian Menurut Hukum Indonesia, Varia Peradilan, Tahun V, No. 56, Mei.

Suryono, Leli Joko, 2009, Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian, Jurnal Media Hukum, No. 2, Desember.

Setiawan, 1991, Pengaruh Yurisprudensi terhadap Peraturan Perundang-Undangan, Varia Peradilan, Tahun VI, No. 65, Februari.

 

REFORMASI BIROKRASI LEMBAGA PERADILAN MENUJU PERADILAN YANG AGUNG

REFORMASI BIROKRASI LEMBAGA PERADILAN

MENUJU PERADILAN YANG AGUNG

Oleh : Cahyono

 

  1. Pendahuluan

        Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan kehakiman serta peradilan negara tertinggi mempunyai posisi dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena tidak hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan tetapi juga sebagai puncak manajemen di bidang administratif, personil dan finansial serta sarana prasarana. Kebijakan “satu atap” memberikan tanggungjawab dan tantangan karena MA dituntut untuk menunjukkan kemampuannya guna mewujudkan organisasi sebagai lembaga yang profesional, efektif, efisien, transparan serta akuntabel.

Penyatuan atap beserta semua konsekuensi logis yang muncul untuk menjadi lembaga yang mumpuni dalam bidang peradilan dan mampu mengelola administratif, personil, finansial dan sarana prasarana, membuat MA melakukan perubahan atau pembaruan di semua aspek secara hampir bersamaan. Menyadari keterbatasan sumber daya dan terus mendesaknya perkembangan kebutuhan publik akan perubahan di MA dan badan peradilan dibawahnya, maka perencanaan adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Hal ini menjadi latar belakang disusunnya Cetak Biru Peradilan 2004 – 2009 (yang mulai disusun pada tahun 2003). Cetak Biru ini merupakan sebuah pedoman/arah dan pendekatan yang akan ditempuh untuk mengembalikan citra Mahkamah Agung serta Pengadilan dibawahnya sebagai lembaga yang terhormat dan dihormati.

Hakim Pengadilan Negeri Sleman.  Makalah diajukan sebagai masukan dalam rapat membahas Reformasi Birokrasi di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Kamis, tanggal 23 Februari 2017, dan makalah ini ditayangkan kembali di bulan Oktober  2022, mengingat meskipun di MARI ada terkait  OTT oleh KPK, namun sebenarnya sudah cukup banyak reformasi birokrasi yang dilakukan oleh MARI melalui berbagai Perma, dan Sema-nya, sehingga sedikit banyaknya masyarakat merasakan adanya reformasi hukumyang dilakukan oleh MARI hingga tahun 2012, dan tulisan ini juga belum membahas  reformasi hukum disaat-saat ini (2012-2022) mengingat keterbatasan pengetahuan penulis.

Pasal 21 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman junctis Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 dan Pasal 11 Undang-Undang No.35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

lebih lengkap download artikel di bawah ini :

REFORMASI BIROKRASI LEMBAGA PERADILAN

 

JUDICIAL ACTIVISM HAKIM PERADILAN PERDATA : PERSPEKTIF TEORI-TEORI PENEMUAN HUKUM

JUDICIAL ACTIVISM HAKIM PERADILAN PERDATA : PERSPEKTIF TEORI-TEORI PENEMUAN HUKUM

Oleh: Cahyono[1]

 Latar Belakang Masalah

Perkembangan hukum secara umum diartikan dalam beberapa makna[2]. Dalam konteks Peradilan Perdata, penggantian, perubahan maupun pembaharuan dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu legislasi dan yurisprudensi[3]. Yurisprudensi dalam proses penyelesaian sengketa menjadi hal penting di lembaga Peradilan Perdata.

Dunia peradilan yang digerakkan oleh hakim sebagai mesinnya, merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum yurisprudensi sebagai kaidah baru mengisi celah-celah hukum, pengisi kekosongan hukum, pendamping legalistik formalnya hukum, pengisi roh keadilan hukum, pengisi roh nurani hukum.[4]

Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum sebagaimana tersebut diatas pada umumnya dipusatkan sekitar hakim[5]. Hal ini dikarenakan hakim yang profesinya melakukan penemuan hukum. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum dan dituangkan dalam bentuk putusan. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan sumber hukum.

  1. Perumusan Masalah

         Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :

  1. Mengapa perlu ada judicial activism hakim Peradilan Perdata melalui metode penemuan hukum ?
  2. Bagaimana melakukan judicial activism untuk dapat diterapkan dan diimplementasikan dalam praktik dan tugas hakim?
  3. Analisis Dan Pembahasan
  4. Judicial Activism Hakim Peradilan Perdata Melalui Metode Penemuan Hukum

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan (conflict of interest) diantara mereka. Konflik tersebut menimbulkan kerugian  karena biasanya disertai pelanggaran hak dan  kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain.  Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah, hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.[6]

Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum). Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan.

Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas dan kewajibannya selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.

Ruang lingkup hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 5 dan 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meliputi Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata  usaha negara dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut serta hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Pada hakekatnya tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun demikian tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut  dan dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu tugas hakim secara normatif[7] dan tugas hakim secara konkrit[8] dalam mengadili perkara. Dalam memberikan putusan perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian hukumnya (rechtssicherheit) dan kemanfaatannya (zweckmassigkeit).

Dalam rangka melaksanakan tugasnya, seorang hakim melalui metode dan berbekal peralatan-peralatan dalam kotak kerja (ibarat kotak peralatan kerja yang berisi segala keperluan kerja) yang dimiliki, hakim  harus berperan aktif (melaksanakan judicial activism) dalam putusan-putusannya dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis.

Judicial activism  diterjemahkan dengan istilah keaktifan hakim atau keaktifan peradilan. Judicial activism ini dapat diperuntukkan dan diterapkan dalam berbagai macam proses peradilan yaitu dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan sebagainya dengan variasi kasusnya.[9]

Judicial activism dapat diartikan sebagai suatu filosofi dari pembuatan putusan peradilan,  dimana para hakim mendasarkan pertimbangan-pertimbangan putusannya terhadap perkembangan baru atau kebijakan publik yang berkembang. Istilah judicial activism dikenal dalam doktrin common law Anglo Saxon dan sangat populer dalam sistem ini. Apabila untuk menyelesaikan suatu sengketa dirasakan bahwa hakim atau pengadilan harus menggunakan suatu aturan baru atau mengubah suatu aturan yang lama, disitulah hakim menciptakan hukum (judge made law)[10].

Makna dan hakikat judicial activism sangat penting untuk dipahami dan diimplementasikan oleh hakim peradilan perdata mengingat ada kekhususan/karakteristik hukum acara dalam proses pemeriksaan di persidangan perkara perdata hal ini dikarenakan :

  1. Peran hakim yang harus mendengar kedua belah pihak dan bersifat terbuka.
  2. Dalam pembuktian proses persidangan, hakim perdata tidak semata-mata mencari kebenaran formil, namun harus disertai alasan-alasan dan pertimbangan secara logis dan berkeadilan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, perjanjian (antar negara), kebiasaan, doktrin, dan yurisprudensi.

Karakteristik  kekhususan hukum acara perdata tersebut menjadi kondusif untuk melakukan judicial activism. Selain itu Hakim perdata dalam menjatuhkan putusan  haruslah mengikuti perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat melalui putusan-putusan Pengadilan (hukum yurisprudensi) dan bukan hanya melalui doktrin ataupun norma-norma tertulis, kodifikasi dsb. Dalam kondisi dan sistem hukum yang sedemikian ini, sangat  perlu dirasakan adanya judicial activism di kalangan para hakim untuk mengisi kekosongan hukum dalam  menggapai keadilan dalam masyarakat.

  1. Implementasi/Penerapan Judicial Activism Melalui Metode Penemuan Hukum Dalam Praktik Dan Tugas Hakim

Dalam sistem yang berlaku di Indonesia[11]  dikenal adanya metode penemuan hukum (rechtvinding) sebagai salah satu atau bentuk tehniko yuridik yang dihasilkan oleh kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowledge and experience). Judicial activism dalam proses peradilan mensyaratkan kemampuan (profesionalitas) hakim dalam memutus perkara, karena untuk mencari dan menemukan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan, hakim harus menguasai berbagai metode dan cara menemukan hukum[12].

Pada hakekatnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna, pasti didalamnya ada kekurangan dan keterbatasan. Tidak ada perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Aturan perundang-undangan bersifat statis dan rigid (kaku) sedangkan perkembangan manusia selalu meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Het recht hink achter de feiten ann” yaitu hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.[13]

Oleh karena itu suatu peristiwa konkrit harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi dan menciptakan aturan hukumnya dilakukan agar hukumnya dapat diketemukan. Untuk menemukan hukumnya dalam suatu peristiwa diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum. Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat beberapa metode penemuan hukum yaitu:

  1. Metode interpretasi (penafsiran)

Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama dikenal yang  disebut dengan hermeneutika yuridis.

Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi merupakan kewajiban hukum dari hakim. Penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan  suatu peraturan hukum umum terhadap pristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat. Von Savigny memberi batasan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang. Ini bukan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya, tetapi pelbagai kegiatan yang kesemunya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapi tujuan, yaitu penafsiran undang-undang[14].

Dengan demikian tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkan. Dengan kata lain apabila undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga dapat membuat suatu keputusan yang adil sesuai dengan maksud  hukum yaitu mencapai kepastian hukum.

Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Oleh karena itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Karena itu menurut Polak, cara penafsiran ditentukan oleh : materi perundang undangan   yang bersangkutan, tempat perkara diajukan dan menurut zamannya[15].

Dalam ilmu hukum dan praktek peradilan dikenal beberapa macam metode interpretasi yang meliputi[16] : interpretasi subsumptif, interpretasi  gramatikal, interpretasi sistematis/logis, interpretasi historis, interpretasi teleologis/sosiologis, interpretasi komparatif, interpretasi antisipatif/futuristis, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif, interpretasi otentik atau secara resmi, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisipliner, interpretasi dalam perjanjian.

  1. Metode Argumentasi

Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redering atau reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undang tidak lengkap, oleh karena itu untuk melengkapi dipergunakan metode argumentasi.

Menurut Kenneth J. Vandevelde[17] menguraikan lima langkah penalaran hukum :

  1. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the aplicable sources of law);
  2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
  3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam stuktur yang koheren yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (synthesize the aplicable rul of law into a coherent structure);
  4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
  5. Menurut struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).

Sedangkan Shidarta  dalam Bambang Sutiyoso[18], menyimpulkan ada 6 (enam) langkah utama penalaran hukum, yaitu :

  1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stuktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
  2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
  3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
  4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
  5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
  6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.

Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : argumentum per analogian (analogi), argumentum a contrario (a contrario),  rechtvervijning (penyempitan atau pengkongkritan hukum), Fiksi hukum.

  1. Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)

Disamping metode-metode penemuan hukum tersebut di atas masih dikenal metode penemuan hukum lain yaitu metode eksposisi. Menurut Bos[19] dalam desertasinya “Over methode van begripsvorming in het recht” Metode eksposisi atau konstruksi hukum adalah metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian bukan untuk menjelaskan barang. Metode eksposisi atau konstruksi hukum akan digunakan oleh hakim pada saat  dihadapkan pada situasi adanya kekosongan undang-undang. Karena pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya. Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Adapun tujuan dari konstruksi hukum adalah agar putusan hukum dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Meskipun nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peritiwa hukum yang sama diperlakukan sama, sedang nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintah dan masyarakat luas[20].

Sehubungan dengan demikian istilah-istilah hukum, bahasa hukum dan pengertian-pengertian hukum yang dipelajari selama ini baik di dalam perundangan maupun di luar perundangan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum. Namun ilmu pengetahuan hukum itu bukanlah ilmu pengetahuan jika berhenti pada pengertiannya yang lama, istilah-istilah tersebut dapat saja tetap tetapi pengertiannya dapat berubah atau berkembang. Oleh karena itu hukum bukan hanya memerlukan uraian sebab akibat tetapi juga yang penting adalah penafsiran. Penafsiran disini yaitu penafsiran yang sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Rudolph Von Jhering[21] ada 3 syarat utama untuk melakukan konstruksi hukum yaitu: Pertama, konstruksi hukum harus mampu meliput semua bidang hukum positif. Kedua, dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis didalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri.  Ketiga, konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan yaitu konstruksi itu bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu hal.

Metode eksposisi dibagi dua yaitu metode eksposisi verbal dan metode eksposisi yang tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi lebih lanjut menjadi verbal prinsipal dan verbal melengkapi. Sedangkan metode eksposisi yang tidak verbal adalah  metode representasi[22].

Dalam praktek penemuan hukum dikenal beberapa aliran penemuan hukum[23] dengan karakteristik dan ciri-cirinya masing-masing sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Masing-masing aliran penemuan hukum sebagai berikut [24]:

  1. Aliran legisme

Pembagian hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Lahirnya hukum tertulis tentunya pada saat tatkala orang mulai pandai menulis dan membaca. Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis sudah lama dikenal pada saat orang hidup bermasyarakat.

Sebelum  tahun 1800 SM sebagian besar hukum yang digunakan pada saat itu adalah hukum kebiasaan. Sedangkan hukum tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah adalah undang-undang Hamurabi pada zaman Kerajaan Babilonia Irak pada sekitar tahun 1950 SM.

Hukum kebiasaan sumbernya adalah kebiasaan sehari-hari yang didasarkan pada pandangan dan kesadaran orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutaan bahwa kebiasaan itu adalah memang seharusnya ditaati. Sejalan dengan kemajuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama makin luas, orang mulai merasa tidak puas dengan hukum yang tidak tertulis.

Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan. Di Eropa muncul gerakan kodifikasi sekitar abad 19 dengan berupaya menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad 18 diadakan kodifikasi undang-undang yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di Belanda kodifikasi hukum dilakukan pada tahun  1838 M. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran legisme.

Sesuai dengan teori Montequieu ataupun Rousseau, aliran legisme berpendapat bahwa kedudukan Pengadilan adalah pasif. Ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas melakukan sesuatu hal yang konkrit dalam peraturan undang-undang dengan jalan silogisme hukum, secara deduksi yang logis. Pengadilan tidaklah merupakan penentu (determinant) pembentuk hukum. Satu-satunya adalah badan pembentuk undang-undang saja. Penganut teori ini antara lain Montequieu, Rousseau, Robbespierre, Fenenet, Rudolf Van Jhering, G. Jllineck. Carre de Malberg, H. Nawiastski dan Hans Kelsen.

  1. Mazhab Historis

Dalam abad 20 disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan bersama. Ternyata terdapat kekosongan-kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-undang. Perkembangan ini di Nederland dimulai pada akhir abad ke 19. Judge made law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Sejak itu pula hukum kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur sistem hukum.

Berlawanan dengan pandangan legisme yaitu bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum adalah pandangan Mazhab Historis yang dipelopori oleh Von Savigny (1779-1861). Mazhab Historis  berpendapat bahwa hukum itu ditentukan secara historis, hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Kesadaran hukum (volkgeist) yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris harus mengembangkan dan mensistematisasi keyakinan dan praktek-praktek ini.

        Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak cocok dengan kehidupan modern. Sebelum mengkodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang mendalam lebih dahulu. Setelah itu barulah dapat diadakan  kodifikasi.

  1. Begriffsjurisprudenz

Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-undang pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari hakim diharapkan dapat menyesuaikan undang-undang pada keadaan baru. Yuriprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh kembali perannya sebagai sumber hukum. Sebaliknya para sarjana mulai bersikap kritis terhadap undang-undang.

Dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain sehingga ketentuan-ketentuan undang-undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal ialah apabila sistem yang ada itu berbentuk piramida dengan pada puncaknya suatu asas utama. Dari situ dapat dibuat pengertian-pengertian baru (Begriff). Dikembangkanlah sistem asas-asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan untuk mengkaji undang-undang. Oleh karena itu teori ini disebut Begriffsjurisprudenz, suatu nama ynag diberikan Von Jhering pada aliran ini

  1. Interessenjurisprudenz

Sebagai reaksi terhadap Begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman Interessejurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1892) suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran ini disebut interessejurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasa warsa pertama abad ke 20 di Jerman.

Adapun dasar pemikiran atau pandangan aliran-aliran ini diantaranya adalah :

  1. Hukum merupakan resultatante pertentangan kepentingan yang berlawanan dan berbenturan satu sama lain;
  2. Peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim secara formil logika belaka tetapi harus dinilai dari tujuannya;
  3. Sistematisasi tidak boleh dibesar-besarkan, sehingga mengarah pada tujuan yang terdapat dibelakang sistem dan merealisasi idee keadilan dan keusiaan yang mengenal waktu;
  4. Tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata;
  5. Hakim harus menyesuaikan dengan ukuran nilai kepentingan yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
  6. Sociologische revhtsschule

Aliran ini berpandangan bahwa untu menemukan hukumnya, hakim harus mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Aliran ini dipelopori antara lain oleh Hamaker dan Hymans.

  1. Freirechbewegung

Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran Gnaeus Flavius dalam tahun 1906 menulis Der Kampf um die Rechtswisswnschaft. Aliran baru ini disebutnya freirechtlich (bebas) dan dari situlah timbul istilah Freirechtbewegung. Freirechbewegung merupakan ajaran penemuan hukum bebas, yaitu penemuan hukum yang tidak secara ketat terikat pada undang-undang tetapi lebih menekankan pada kepatutan.

Pada prinsipnya pandangan atau dasar pemikiran aliran ini sebagai berikut :

  1. Kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-undang, karena disamping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain untuk menemukan hukumnya;
  2. Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie automaat dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata;
  3. Peran undang-undang adalah subordinatie yaitu undang-undang bukanlah tujuan bagi hakim tetapi sekedar sebagai sarana. Hakim tidak hanya mengabdi kepada fungsi kepastian hukum tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Dalam hal undang-undang bertentangan dengan rasa kedilan, hakim berwenang menyimpangi undang-undang tersebut. Hakim tidak semata-mata berperan sebagai penafsir undang-undang tetapi juga sebagai pencipta hukum.
  4. Open System Van Het Recht

Hukum sebagai suatu sisem terbuka (open system van het recht) dikemukakan oleh Paul Scholten. Konsep tersebut merupakan reaksi terhadap pendapat, bahwa hukum itu merupakan kesatuan yang tertutup secara logis. Ajaran ini hendak mempertahankan keutuhan dari sistem hukum sebagai suatu sistem perundang-undangan dengan menjaga kemurnian kualifikasinya sebagai suatu sistem hukum tertulis. Sistem itu tidak boleh brubah dan diubah selama pembuat undang-undang tidak mengubahnya. Segi positif dari ajaran yang demikian iu terletak pada nilai kepastiannya yang besar dan segi negatifnya terletak pada sifatnya yang statis.

Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem yang semua aturan saling berkaitan. Aturan-aturan itu dapat disusun secara sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya. Hakim bekerja atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Disamping itu sistem hukum itu logis dan tidak tertutup. Sistem itu juga tidak statis karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Oleh karena itu penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi.

Konsep penemuan hukum oleh hakim terutama dipelopori oleh aliran sistem terbukanya hukum (open system van het recht) Paul Scholten, dimana ia mengatakan :

  1. Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah sebelum badan pembuat undang-undang mengubahnya. Artinya undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada.
  2. Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan hukum, yaitu :
  3. Kekosongan dalam hukum yaitu manakala hakim mengatakan bahwa ia menjumpai suatu kekosongan, karena tidak tahu bagaimana ia harus memutuskan;
  4. Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu yang terjadi manakala dengan konstruksi dan penalaran analogipun problemnya tidak terpecahkan sehingga hakim harus mengisi kekosongan itu seperti ia berada pada kedudukan pembuat undang-undang dan memutuskan sebagaimana kiranya pembuat undang-undang itu akan memberikan keputusannya dalam menghadapi kasus seperti itu.

        Scholten menyarankan agar pikiran tentang kekosongan dalam hukum sebagaimana tersebut diatas ditinggalkan saja dan  tidak membuat perbedaan lagi antara penerapan hukum oleh hakim dan pembuatan hukum oleh pembuat undang-undang. Di dalam penerapan hukum juga dijumpai masalah penilaian dan tidak hanya menangani pengkotak-katikan pengertian-pengertian logis belaka. Dalam penerapan hukum selalu dijumpai adanya hal-hal baru yang ditambahkan. Keputusan yang dilakukan  oleh hakim pada akhirnya merupakan suatu lompatan dari penalaran secara logis pada suatu penilaian.

Alasan lain yang menjadi dasar dari konsep  Scholten adalah bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan norma-norma. Norma-norma itu merupakan peristiwa sejarah, oleh karena ditetapkan oleh badan-badan dan kekuatan-kekuatan yang konkrit terdapat di dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu, seperti pembuat undang-undang, kebiasaan bahkan juga tingkah laku hukum dari masyarakat.

Berdasarkan alasan-alasan itulah Scholten mengemukakan pendapatnya bahwa hukum itu merupakan sistem yang terbuka yang tidak hanya melihat ke belakang pada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang ke depan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.

  1. Penemuan hukum modern

Penemuan hukum modern lahir sesudah Perang Dunia II, dibawah pengaruh eksistensialisme dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim sebagai subsumptie automaat.

Dasar pemikiran atau pandangan ajaran ini diantaranya adalah :

  1. Positivisme undang-undang/legisme sebagai model subsumptie automaat tidaklah dapat dipertahankan;
  2. Yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan tetapi masalah kemasyarakatan konkrit yang harus dipecahkan;
  3. Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi tetapi tidak boleh diabaikan;
  4. Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama;
  5. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia maka dalam menemukan harus diperhatikan pula perkembangan masyarakat dan perkembangan tekhnologi;
  6. Metode penafsiran yang digunakan terutama teleogis, yang lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang dari pada bunyi kata-katanya saja.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken” atau pandangan yang problem oriented dari ajaran freirechtbewegung, dimana pencari keadilan lebih diutamakan.

  1. Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)

Di penghujung abad ke 20 lahirlah suatu aliran dalam ilmu hukum yang disebut dengan critikal legal studies. Sesuai dengan namanya maka aliran  ini mengkritik secara konsepsional teori hukum tradisional yang berlaku pada saat ini. Aliran critical legal studies ini lahir di Amerika Serikat yang dibidani oleh sejumlah Profesor hukum yang berhaluan post modern[25] dari universitas terkemuka antara lain Universitas Havard pada akhir dekade 1970 an. Jadi yang dikritik sebenarnya adalah hukum Amerika tersebut.

Critical Legal Studies merupakan suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist)[26] dengan orientasi  yang sama dengan orientasi politik “neo marxist” tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktik hukum yang ada pada dekade 1970 an, khususnya terhadap teori dan praktik hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut :

  1. Terhadap pendidikan hukum;
  2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum;
  3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.

Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970 an yang merupakan hasil dari suatu konfederasi tahun 1977 di Amerika Serikat. Pada saat hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa walaupun metode dan fokus berbeda, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Jerman, Perancis, dan Inggris.

        Critical Legal Studies di Inggris lahir pada tahun 1984 dengan adanya konferensi yang membicarakan pendekatan yang kritis  terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan (law in action) dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konferensi tersebut dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies yang dilakukan oleh suatu organizing commitee yang beranggotakan para ahli hukum yaitu: Abel, Heller, Hoewitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan Unger.

Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam dekade 1960 an. Meskipun gerakan-gerakan tersebut bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang digunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang ortodoks dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang kaku (black letter law). Akan tetapi di lain pihak pada waktu yang bersamaan, gerakan ini juga mengakui keterbatasan dari pendekatan socio legal terhadap hukum yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan socio legal tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang bersifat black letter law tersebut.

Ajaran Critical Legal Studies ini memiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut :

  1. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral;
  2. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu;
  3. Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Oleh  karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan;
  4. Aliran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Oleh karena itu ajaran ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum.
  5. Ajaran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktik dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik dari faham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory) tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis.

Perkembangan selanjutnya dari Critical Legal Studies adalah dengan munculnya generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekonstruksi kembali realitas sosial yang baru. Generasi kedua tersebut sekarang ini muncul dalam wujud Feminist Legal Theorist (fem-crit) dan critical race theorist (race-crit) dan yang masuk lebih jauh di bidang hukum adalah radical criminology. Dewasa ini aliran-aliran seperti itu telah mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat sudah sangat sadaar bahwa hukum yang ada sekarang bukanlah pelindung (protector) melainkan sudah menjadi penindas (oppressor).

  1. Gagasan hukum Progressif

Gagasan hukum progresif  dilontarkan oleh pakar sosiologi hukum yaitu Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Menurutnya hukum hendaknya mengikuti perkembangan hukum, mampu menjawab perkembangan zaman. Berdasarkan semangat mengikuti perkembangan  zaman itulah gagasan progresivitas hukum dibangun.

Menurut Satjipto Rahardjo[27], pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap hari. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan[28].

Sebagaimana diuraikan di atas, hukum progresif lebih dekat ke interessenjurisprudenz. Searah dengan hukum progresif, Interessenjurisprudenz ini berangkat dari keraguan tentang kesempurnaan logika yuridis dalam merespons kebutuhan atau kepentingan sosial dalam masyarakat. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif  menerjemahkan hukum itu dalam fora kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.

Hukum progresif seperti halnya interssenjurisprudenz tidak sekali-kali menafikan peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meskipun demikian, tidak seperti legisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal. Hukum Progresif merangkul baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam tiap putusan.

Bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang cenderung menepis dunia di luar dirinya seperti manusia, masyarakat, kesejahteraannya.  Meminjam istilah Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat responsif. Dalam tipe yang demikian itu, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan[29].

Lebih lanjut dikatakan bahwa antara hukum progresif dengan legal realism juga memiliki kemiripan logika yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri. Baik hukum progresif maupun legal realism melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.

Selain dekat dengan aliran-aliran tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki kedekatan ide dengan Teori-Teori Hukum Alam yaitu kepedulian pada apa yang oleh Hans Kelsen disebut meta-yuridical. Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota  hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan the search for justice[30].

Berdasarkan perkembangan aliran-aliran metode penemuan hukum  sebagaimana diuraikan diatas maka metode penemuan hukum sebagai salah satu atau bentuk tekhniko yuridik yang dihasilkan dari kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowlwdge and experience) yang ingin dicapai melalui judicial activism disini adalah sesuai dengan jiwa dan semangat aliran progresif. Aliran progressif  memberikan pencerahan hukum bagi peradilan yang akan merupakan alat untuk melakukan perubahan-perubahan sosial melalui putusan-putusan hakim.

Penerapan konsep hukum sebagai sarana perubahan-perubahan sosial  law as a tool of social engineering dapat dijalankan melalui konsep penemuan hukum (rechtsvinding) seperti penafsiran kontemporer (contemporary interpretation), penafsiran sosiologis dan lain-lain metode penemuan hukum.

Konsep hukum progresif dari Satjipto Rahardjo seperti juga Holmes, Brendeis dan Cardozo adalah persoalan penerapan hukum bukan pembentuk undang-undang. Progresivisme memaknai the living law yang semestinya menjadi dasar memutus bukan the living law yang dibentuk hakim, melainkan hukum yang secara nyata ada di masyarakat (law as social facts).[31]

Hakim semata-mata memutus atas dasar pertimbangan dan menurut rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat atau kepentingan keadilan pencari keadilan. Secara lebih mendasar, pemikiran ini sangat dekat juga dengan peradilan equity di Inggris. Hakim memutus semata-mata atas dasar pertimbangan keadilan bukan memutus menurut hukum (Common Law, precedent atau suatu hukum tertulis).[32]

Seorang hakim (dalam hal ini Hakim Perdata) pada saat menghadapi kasus-kasus konkret yang harus diadili, dimana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat yang senantiasa berkembang maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk mencari hukum dan menemukan hukum solusi dalam kasus yang dihadapi yang harus dipecahkan dan diputuskan secara cepat dan adil. Dalam kerangka berpikir demikian judicial activism dilakukan oleh hakim dan peradilan untuk menjawab dan mengisi kekosongan hukum dalam mengikuti perkembangan dan dialektika hukum dalam masyarakat sehingga putusan-putusan peradilan dapat mencerminkan rasa keadilan.

Simpulan

  1. Judicial activism sangat penting dipahami dan diimplementasikan oleh hakim perdata mengingat adanya karakteristik hukum acara dalam proses pemeriksaan di persidangan, yaitu peran hakim dalam memimpin persidangan, hakim dalam proses persidangan mendengar kedua belah pihak, bersifat terbuka dan putusan hakim disertai alasan-alasan yang logis, yang bersumber dari undang-undang, perjanjian (antar negara), kebiasaan, doktrin dan selain itu hukum perdata kebanyakan berkembang melalui putusan pengadilan (yurisprudensi). Sehubungan dengan karakteristik tersebut maka diperlukan judicial activism melalui metode penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan masyarakat.
  2. Ada berbagai macam  aliran dalam metode penemuan hukum. Aliran progresif dalam metode penemuan hukum selaras dengan hakikat yang ingin dicapai melalui judicial activism. Aliran progresif ini merupakan pembaruan pandangan dalam rechtvinding sebagai reaksi atas aliran lama yang konservatif.

 

DAFTAR RUJUKAN

Adriaan W. Bedner, Administrative Courts in Indonesia : a socio-legal study, Penerjemah, Indra Krishnamurti, 2010, Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia Sebuah Studi Sosio Legal, Jakarta : HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV.

 

Bambang Sutiyoso,  2012, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta : UII Press.

 

Bernard L. Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta : Genta Publishing.

 

——————– dkk, 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing.

 

Hans Kelsen, 2012, Pengantar Teori Hukum, Bandung : Nusa Media.

 

Imam Syaukani dkk, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

 

Nico Ngani, 2012, Bahasa Hukum Dan Perundang-undangan, Yogyakarta : Pustaka Yustisia.

 

Paulus Effendi Lotulung, 2013, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Jakarta : Salemba Humanika.

—————————–, Makalah dengan judul :  Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan : Judicial Activism Dalam Kontek Peradilan TUN,  disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia hari Rabu tanggal 21 September 2011.

Rusli Muhammad, 2013, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial, Yogyakarta : UII Press.

 

Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Penerjemah : Narulita Yusron, Gerakan Studi Hukum Kritis  2012, Bandung : Nusa Media.

 

———————, Law and Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory, Penerjemah Dariyanto dan Derta Sri Widowatie, Teori Hukum Kritis Posisi Dalam Masyarakat Modern, Bandung : Nusa Media.

 

Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty.

 

————————– dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti.

 

S.F. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Yogyakarta : FH UII Press.

 

Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, Jakarta : Rajawali Pers.

 

Undang-undang   Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

 

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.

 

Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

 

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

 

    [1]Hakim Pengadilan Negeri Sleman. Alumni S3 FH UNS.

    [2]Makna disini diartikan sebagai penggantian, perubahan dan pembaharuan karena adanya kebutuhan atau hukum yang lama itu tidak sesuai dengan kondisi yang ada.

    [3]Sementara Yurisprudensi Perdata melalui putusan-putusan yang konsisten memberikan dampak paling signifikan  dalam dinamika perkembangan Perdata dalam memenuhi kebutuhan praktis untuk memperlancar jalannya persidangan

   [4]M. Fauzan, Filsafat Hermeneutika Sebagai Metode Penemuan Hukum Yurisprudensi, Varia Peradilan Nomor 290 Januari 2010.

   [5]Dalam kenyataannya problematik penemuan hukum tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk undang-undang saja, berbagai pihak melakukan penemuan hukum. Boleh dikatakan setiap orang yang berkepentingan dalam suatu perkara melakukan kegiatan menemukan hukum untuk peristiwa konkrit lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, h.38.

[6]    Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, Yogyakarta : UII Press, hal.2.

[7]    Tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[8]  Ada tiga  tindakan secara bertahap yaitu mengkonstatir (mengkonstasi), mengkwalifisir (mengkwalifikasi)  dan mengkonstituir (mengkonstitusi).

[9]   Paulus Effendi Lotulung, 2013, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Jakarta : Salemba Humanika, h. 99.

[10] Ibid., h.100.

[11]   Sistem hukum di Indonesia pada umumnya terkena pengaruh sistem hukum civil law (Eropa Kontinental)

[12]   Paulus Effendi Lotulung, Makalah dengan judul :  Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan : Judicial Activism Dalam Kontek Peradilan TUN,  disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia hari Rabu tanggal 21 September 2011.

[13]   Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum Upaya mewujudkan Hukum yang pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta : FH UII Press, h.104.

[14] Ibid., hal. 109.

[15] Ibid. h. 110.

[16] Lihat antara lain : Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,  1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, h. 54-67; Bambang  Sutiyoso, Op. Cit. , h. 111-128.

[17] Sebagaimana dikutip Shidarta dalam Bambang Sutiyoso, Ibid., h.134.

[18] Ibid., h. 134-135.

[19]   Bos sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, h.73.

[20] Bambang Sutiyoso, Op. Cit. h. 146.

[21] Sebagaimana dikutif Achmad Ali dalam Bambang  Sutiyoso, Ibid.

[22]  Sudikno Mertokusumo,  Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Op. Cit., h. 73.

[23]   Lahirnya aliran-aliran penemuan hukum pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mngenai apa yang mrupakan (satu-satunya) sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang teori atau ajaran sumber hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo. Op. Cit. h. 94.

[24]   Lihat Sudikno Mertokusumo,  Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, h. 9, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, h 94, Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, h. 75.

[25]   Roberto M. Unger, Law and Modern Society : Toward a Critism of social Theory, Terjemahan : Dariyanto dan Dertan Sri Widowatie, 2010, Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern.

[26]   Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan :  Narulita Yusron, 2012, Gerakan Studi Hukum Kritis, Bandung : Nusa Media.

[27]   Lihat dalam Bernard L. Tanya dkk, 2013, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,  Yogyakarta : Genta Publishing, h.190.

[28]   Ibid., h. 191.

[29] Ibid., h. 192.

[30] Ibid, h. 193.

[31] Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan  Dengan UUD 1945, Artikel Varia Peradian No 328 Maret 2013.

[32] Ibid.

JUDGE MADE LAW Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus Penyalahgunaan Internet yang Berkeadilan

JUDGE MADE LAW Sebagai Upaya Penyelesaian

Kasus Penyalahgunaan Internet yang Berkeadilan

 

Oleh:

Cahyono[1]

[1] Hakim Pengadilan Negeri Sleman, alumnus  S3 FH UNS.

Hukum, teknologi informasi dan globalisasi merupakan tiga bidang yang saling terkait.Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi yang sangat cepat beserta penyebaran produk-produknya dimungkinkan karena adanya globalisasi dan dampaknya terasa pula di bidang hukum.[1]Globalisasi informasi[2] adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global. Adapun makna globalisasi dari perspektif aliran cyberspace globalists, seperti dikemukakan oleh Featherstone[3] bahwa globalisasi ditandai dengan tumbuhnya perkembangan teknologi informasi mutakhir maupun penemuan lainnya sehingga memungkinkan manusia untuk menjalankan fungsinya lebih cepat dan mudah.

lebih lengkap download artikel di bawah ini :

JUDGE MADE LAW Cahyono 2022

Merenovasi Pengaturan Abortus dalam KUHP (antara lex specialis dan lex generalis)

Merenovasi Pengaturan Abortus dalam KUHP

(antara lex specialis dan lex generalis)

Oleh : Dr. Cahyono, S.H.,M.H.

(Hakim Pengadilan Negeri Sleman)

 

  1. Pendahuluan       

Masalah yang rumit yang dihadapi oleh setiap masyarakat, termasuk Indonesia adalah masalah keadilan (kesebandingan). Hal ini terutama disebabkan oleh karena pada umumnya orang beranggapan bahwa hukum mempunyai dua tugas utama, yakni mencapai suatu kepastian hukum serta mencapai kesebandingan bagi semua warga masyarakat. Pemikiran-pemikiran maupun konsepsi-konsepsi tentang keadilan yang berasal dari dunia barat tidak tepat jumlahnya. Konsepsi tentang kesebandingan pada hakikatnya berakar di dalam kondisi yang pada suatu waktu tertentu diingini oleh masyarakat yang bersangkutan. Dan biasanya, konsepsi tentang kesebandingan (keadilan) baru menonjol atau timbul apabila warga masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang dirasakan kurang adil. Untuk mencapai keadilan yang bersifat substantif dan dapat dipertanggungjawabkan, maka sudah sewajarnya apabila hukum pidana membutuhkan ilmu pengetahuan lain yang relevan dengan perkembangan masyarakat.

Hukum pidana perlu terbuka terhadap hasil perkembangan ilmu sosial dan kemasyarakatan, ilmu perilaku manusia, serta ilmu pengetahuan lain yang relevan. Selain ilmu sosial dan ilmu kemasyarakatan lain yang banyak membantu hukum pidana, juga dikembangkan bantuan ilmu kedokteran dan teknologi untuk penegakkan  hukum pidana yang modern. Kemajuan teknologi sangat membantu kewibawaan hukum pidana untuk menyajikan kebenaran dan keputusan pengadilan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencapai keadilan yang bersifat substantif.

Beberapa aspek kehidupan telah mengalami perubahan, sehingga diperlukan pembaharuan hukum pidana yang sifatnya dinamis, interaksionis dan progresif. Perubahan tersebut pada gilirannya akan mengikuti perkembangan masyarakat yang modern yang akhirnya menuntut pembaharuan hukum yang diperlukan sesuai kebutuhan hukum pidana yang dinamis, ia tidak mandeg-statis. Salah satunya yang perlu dilakukan renovasi pengaturan hukumnya adalah berkaitan dengan pengguguran kandungan (abortus) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 346 KUHP, yang menyebutkan:”Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun”. Serupa dengan Pasal 346 KUHP, abortus juga diatur secara khusus dalam UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, Pasal 75 ayat (1) menyatakan: “Setiap orang dilarang melakukan aborsi”; namun ada pengecualiannya, sebagaimana diatur Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, yang menyatakan: “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan;

Baca lebih lengkap download dibawah ini :

ABORTUS FINAL_2

1 2
 
Ampiyangs
Halo Ampiyangs
Halo
Skip to content ext to Speech - all links on page spokenJavaScript