JUDICIAL ACTIVISM HAKIM PERADILAN PERDATA : PERSPEKTIF TEORI-TEORI PENEMUAN HUKUM
Oleh: Cahyono[1]
Latar Belakang Masalah
Perkembangan hukum secara umum diartikan dalam beberapa makna[2]. Dalam konteks Peradilan Perdata, penggantian, perubahan maupun pembaharuan dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu legislasi dan yurisprudensi[3]. Yurisprudensi dalam proses penyelesaian sengketa menjadi hal penting di lembaga Peradilan Perdata.
Dunia peradilan yang digerakkan oleh hakim sebagai mesinnya, merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum yurisprudensi sebagai kaidah baru mengisi celah-celah hukum, pengisi kekosongan hukum, pendamping legalistik formalnya hukum, pengisi roh keadilan hukum, pengisi roh nurani hukum.[4]
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum sebagaimana tersebut diatas pada umumnya dipusatkan sekitar hakim[5]. Hal ini dikarenakan hakim yang profesinya melakukan penemuan hukum. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum dan dituangkan dalam bentuk putusan. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan sumber hukum.
- Perumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :
- Mengapa perlu ada judicial activism hakim Peradilan Perdata melalui metode penemuan hukum ?
- Bagaimana melakukan judicial activism untuk dapat diterapkan dan diimplementasikan dalam praktik dan tugas hakim?
- Analisis Dan Pembahasan
- Judicial Activism Hakim Peradilan Perdata Melalui Metode Penemuan Hukum
Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan (conflict of interest) diantara mereka. Konflik tersebut menimbulkan kerugian karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah, hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.[6]
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum). Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan.
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas dan kewajibannya selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.
Ruang lingkup hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 5 dan 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meliputi Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut serta hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Pada hakekatnya tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun demikian tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut dan dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu tugas hakim secara normatif[7] dan tugas hakim secara konkrit[8] dalam mengadili perkara. Dalam memberikan putusan perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian hukumnya (rechtssicherheit) dan kemanfaatannya (zweckmassigkeit).
Dalam rangka melaksanakan tugasnya, seorang hakim melalui metode dan berbekal peralatan-peralatan dalam kotak kerja (ibarat kotak peralatan kerja yang berisi segala keperluan kerja) yang dimiliki, hakim harus berperan aktif (melaksanakan judicial activism) dalam putusan-putusannya dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis.
Judicial activism diterjemahkan dengan istilah keaktifan hakim atau keaktifan peradilan. Judicial activism ini dapat diperuntukkan dan diterapkan dalam berbagai macam proses peradilan yaitu dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan sebagainya dengan variasi kasusnya.[9]
Judicial activism dapat diartikan sebagai suatu filosofi dari pembuatan putusan peradilan, dimana para hakim mendasarkan pertimbangan-pertimbangan putusannya terhadap perkembangan baru atau kebijakan publik yang berkembang. Istilah judicial activism dikenal dalam doktrin common law Anglo Saxon dan sangat populer dalam sistem ini. Apabila untuk menyelesaikan suatu sengketa dirasakan bahwa hakim atau pengadilan harus menggunakan suatu aturan baru atau mengubah suatu aturan yang lama, disitulah hakim menciptakan hukum (judge made law)[10].
Makna dan hakikat judicial activism sangat penting untuk dipahami dan diimplementasikan oleh hakim peradilan perdata mengingat ada kekhususan/karakteristik hukum acara dalam proses pemeriksaan di persidangan perkara perdata hal ini dikarenakan :
- Peran hakim yang harus mendengar kedua belah pihak dan bersifat terbuka.
- Dalam pembuktian proses persidangan, hakim perdata tidak semata-mata mencari kebenaran formil, namun harus disertai alasan-alasan dan pertimbangan secara logis dan berkeadilan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, perjanjian (antar negara), kebiasaan, doktrin, dan yurisprudensi.
Karakteristik kekhususan hukum acara perdata tersebut menjadi kondusif untuk melakukan judicial activism. Selain itu Hakim perdata dalam menjatuhkan putusan haruslah mengikuti perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat melalui putusan-putusan Pengadilan (hukum yurisprudensi) dan bukan hanya melalui doktrin ataupun norma-norma tertulis, kodifikasi dsb. Dalam kondisi dan sistem hukum yang sedemikian ini, sangat perlu dirasakan adanya judicial activism di kalangan para hakim untuk mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan dalam masyarakat.
- Implementasi/Penerapan Judicial Activism Melalui Metode Penemuan Hukum Dalam Praktik Dan Tugas Hakim
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia[11] dikenal adanya metode penemuan hukum (rechtvinding) sebagai salah satu atau bentuk tehniko yuridik yang dihasilkan oleh kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowledge and experience). Judicial activism dalam proses peradilan mensyaratkan kemampuan (profesionalitas) hakim dalam memutus perkara, karena untuk mencari dan menemukan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan, hakim harus menguasai berbagai metode dan cara menemukan hukum[12].
Pada hakekatnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna, pasti didalamnya ada kekurangan dan keterbatasan. Tidak ada perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Aturan perundang-undangan bersifat statis dan rigid (kaku) sedangkan perkembangan manusia selalu meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Het recht hink achter de feiten ann” yaitu hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.[13]
Oleh karena itu suatu peristiwa konkrit harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi dan menciptakan aturan hukumnya dilakukan agar hukumnya dapat diketemukan. Untuk menemukan hukumnya dalam suatu peristiwa diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum. Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat beberapa metode penemuan hukum yaitu:
- Metode interpretasi (penafsiran)
Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama dikenal yang disebut dengan hermeneutika yuridis.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi merupakan kewajiban hukum dari hakim. Penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap pristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat. Von Savigny memberi batasan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang. Ini bukan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya, tetapi pelbagai kegiatan yang kesemunya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapi tujuan, yaitu penafsiran undang-undang[14].
Dengan demikian tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkan. Dengan kata lain apabila undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga dapat membuat suatu keputusan yang adil sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum.
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Oleh karena itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Karena itu menurut Polak, cara penafsiran ditentukan oleh : materi perundang undangan yang bersangkutan, tempat perkara diajukan dan menurut zamannya[15].
Dalam ilmu hukum dan praktek peradilan dikenal beberapa macam metode interpretasi yang meliputi[16] : interpretasi subsumptif, interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis/logis, interpretasi historis, interpretasi teleologis/sosiologis, interpretasi komparatif, interpretasi antisipatif/futuristis, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif, interpretasi otentik atau secara resmi, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisipliner, interpretasi dalam perjanjian.
- Metode Argumentasi
Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redering atau reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undang tidak lengkap, oleh karena itu untuk melengkapi dipergunakan metode argumentasi.
Menurut Kenneth J. Vandevelde[17] menguraikan lima langkah penalaran hukum :
- Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the aplicable sources of law);
- Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
- Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam stuktur yang koheren yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (synthesize the aplicable rul of law into a coherent structure);
- Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
- Menurut struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).
Sedangkan Shidarta dalam Bambang Sutiyoso[18], menyimpulkan ada 6 (enam) langkah utama penalaran hukum, yaitu :
- Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stuktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
- Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
- Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
- Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
- Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
- Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : argumentum per analogian (analogi), argumentum a contrario (a contrario), rechtvervijning (penyempitan atau pengkongkritan hukum), Fiksi hukum.
- Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)
Disamping metode-metode penemuan hukum tersebut di atas masih dikenal metode penemuan hukum lain yaitu metode eksposisi. Menurut Bos[19] dalam desertasinya “Over methode van begripsvorming in het recht” Metode eksposisi atau konstruksi hukum adalah metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian bukan untuk menjelaskan barang. Metode eksposisi atau konstruksi hukum akan digunakan oleh hakim pada saat dihadapkan pada situasi adanya kekosongan undang-undang. Karena pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya. Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Adapun tujuan dari konstruksi hukum adalah agar putusan hukum dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Meskipun nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peritiwa hukum yang sama diperlakukan sama, sedang nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintah dan masyarakat luas[20].
Sehubungan dengan demikian istilah-istilah hukum, bahasa hukum dan pengertian-pengertian hukum yang dipelajari selama ini baik di dalam perundangan maupun di luar perundangan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum. Namun ilmu pengetahuan hukum itu bukanlah ilmu pengetahuan jika berhenti pada pengertiannya yang lama, istilah-istilah tersebut dapat saja tetap tetapi pengertiannya dapat berubah atau berkembang. Oleh karena itu hukum bukan hanya memerlukan uraian sebab akibat tetapi juga yang penting adalah penafsiran. Penafsiran disini yaitu penafsiran yang sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Menurut Rudolph Von Jhering[21] ada 3 syarat utama untuk melakukan konstruksi hukum yaitu: Pertama, konstruksi hukum harus mampu meliput semua bidang hukum positif. Kedua, dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis didalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri. Ketiga, konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan yaitu konstruksi itu bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu hal.
Metode eksposisi dibagi dua yaitu metode eksposisi verbal dan metode eksposisi yang tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi lebih lanjut menjadi verbal prinsipal dan verbal melengkapi. Sedangkan metode eksposisi yang tidak verbal adalah metode representasi[22].
Dalam praktek penemuan hukum dikenal beberapa aliran penemuan hukum[23] dengan karakteristik dan ciri-cirinya masing-masing sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Masing-masing aliran penemuan hukum sebagai berikut [24]:
- Aliran legisme
Pembagian hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Lahirnya hukum tertulis tentunya pada saat tatkala orang mulai pandai menulis dan membaca. Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis sudah lama dikenal pada saat orang hidup bermasyarakat.
Sebelum tahun 1800 SM sebagian besar hukum yang digunakan pada saat itu adalah hukum kebiasaan. Sedangkan hukum tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah adalah undang-undang Hamurabi pada zaman Kerajaan Babilonia Irak pada sekitar tahun 1950 SM.
Hukum kebiasaan sumbernya adalah kebiasaan sehari-hari yang didasarkan pada pandangan dan kesadaran orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutaan bahwa kebiasaan itu adalah memang seharusnya ditaati. Sejalan dengan kemajuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama makin luas, orang mulai merasa tidak puas dengan hukum yang tidak tertulis.
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan. Di Eropa muncul gerakan kodifikasi sekitar abad 19 dengan berupaya menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad 18 diadakan kodifikasi undang-undang yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di Belanda kodifikasi hukum dilakukan pada tahun 1838 M. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran legisme.
Sesuai dengan teori Montequieu ataupun Rousseau, aliran legisme berpendapat bahwa kedudukan Pengadilan adalah pasif. Ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas melakukan sesuatu hal yang konkrit dalam peraturan undang-undang dengan jalan silogisme hukum, secara deduksi yang logis. Pengadilan tidaklah merupakan penentu (determinant) pembentuk hukum. Satu-satunya adalah badan pembentuk undang-undang saja. Penganut teori ini antara lain Montequieu, Rousseau, Robbespierre, Fenenet, Rudolf Van Jhering, G. Jllineck. Carre de Malberg, H. Nawiastski dan Hans Kelsen.
- Mazhab Historis
Dalam abad 20 disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan bersama. Ternyata terdapat kekosongan-kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-undang. Perkembangan ini di Nederland dimulai pada akhir abad ke 19. Judge made law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Sejak itu pula hukum kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur sistem hukum.
Berlawanan dengan pandangan legisme yaitu bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum adalah pandangan Mazhab Historis yang dipelopori oleh Von Savigny (1779-1861). Mazhab Historis berpendapat bahwa hukum itu ditentukan secara historis, hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Kesadaran hukum (volkgeist) yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris harus mengembangkan dan mensistematisasi keyakinan dan praktek-praktek ini.
Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak cocok dengan kehidupan modern. Sebelum mengkodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang mendalam lebih dahulu. Setelah itu barulah dapat diadakan kodifikasi.
- Begriffsjurisprudenz
Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-undang pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari hakim diharapkan dapat menyesuaikan undang-undang pada keadaan baru. Yuriprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh kembali perannya sebagai sumber hukum. Sebaliknya para sarjana mulai bersikap kritis terhadap undang-undang.
Dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain sehingga ketentuan-ketentuan undang-undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal ialah apabila sistem yang ada itu berbentuk piramida dengan pada puncaknya suatu asas utama. Dari situ dapat dibuat pengertian-pengertian baru (Begriff). Dikembangkanlah sistem asas-asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan untuk mengkaji undang-undang. Oleh karena itu teori ini disebut Begriffsjurisprudenz, suatu nama ynag diberikan Von Jhering pada aliran ini
- Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap Begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman Interessejurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1892) suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran ini disebut interessejurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasa warsa pertama abad ke 20 di Jerman.
Adapun dasar pemikiran atau pandangan aliran-aliran ini diantaranya adalah :
- Hukum merupakan resultatante pertentangan kepentingan yang berlawanan dan berbenturan satu sama lain;
- Peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim secara formil logika belaka tetapi harus dinilai dari tujuannya;
- Sistematisasi tidak boleh dibesar-besarkan, sehingga mengarah pada tujuan yang terdapat dibelakang sistem dan merealisasi idee keadilan dan keusiaan yang mengenal waktu;
- Tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata;
- Hakim harus menyesuaikan dengan ukuran nilai kepentingan yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
- Sociologische revhtsschule
Aliran ini berpandangan bahwa untu menemukan hukumnya, hakim harus mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Aliran ini dipelopori antara lain oleh Hamaker dan Hymans.
- Freirechbewegung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran Gnaeus Flavius dalam tahun 1906 menulis Der Kampf um die Rechtswisswnschaft. Aliran baru ini disebutnya freirechtlich (bebas) dan dari situlah timbul istilah Freirechtbewegung. Freirechbewegung merupakan ajaran penemuan hukum bebas, yaitu penemuan hukum yang tidak secara ketat terikat pada undang-undang tetapi lebih menekankan pada kepatutan.
Pada prinsipnya pandangan atau dasar pemikiran aliran ini sebagai berikut :
- Kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-undang, karena disamping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain untuk menemukan hukumnya;
- Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie automaat dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata;
- Peran undang-undang adalah subordinatie yaitu undang-undang bukanlah tujuan bagi hakim tetapi sekedar sebagai sarana. Hakim tidak hanya mengabdi kepada fungsi kepastian hukum tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Dalam hal undang-undang bertentangan dengan rasa kedilan, hakim berwenang menyimpangi undang-undang tersebut. Hakim tidak semata-mata berperan sebagai penafsir undang-undang tetapi juga sebagai pencipta hukum.
- Open System Van Het Recht
Hukum sebagai suatu sisem terbuka (open system van het recht) dikemukakan oleh Paul Scholten. Konsep tersebut merupakan reaksi terhadap pendapat, bahwa hukum itu merupakan kesatuan yang tertutup secara logis. Ajaran ini hendak mempertahankan keutuhan dari sistem hukum sebagai suatu sistem perundang-undangan dengan menjaga kemurnian kualifikasinya sebagai suatu sistem hukum tertulis. Sistem itu tidak boleh brubah dan diubah selama pembuat undang-undang tidak mengubahnya. Segi positif dari ajaran yang demikian iu terletak pada nilai kepastiannya yang besar dan segi negatifnya terletak pada sifatnya yang statis.
Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem yang semua aturan saling berkaitan. Aturan-aturan itu dapat disusun secara sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya. Hakim bekerja atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Disamping itu sistem hukum itu logis dan tidak tertutup. Sistem itu juga tidak statis karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Oleh karena itu penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi.
Konsep penemuan hukum oleh hakim terutama dipelopori oleh aliran sistem terbukanya hukum (open system van het recht) Paul Scholten, dimana ia mengatakan :
- Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah sebelum badan pembuat undang-undang mengubahnya. Artinya undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada.
- Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan hukum, yaitu :
- Kekosongan dalam hukum yaitu manakala hakim mengatakan bahwa ia menjumpai suatu kekosongan, karena tidak tahu bagaimana ia harus memutuskan;
- Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu yang terjadi manakala dengan konstruksi dan penalaran analogipun problemnya tidak terpecahkan sehingga hakim harus mengisi kekosongan itu seperti ia berada pada kedudukan pembuat undang-undang dan memutuskan sebagaimana kiranya pembuat undang-undang itu akan memberikan keputusannya dalam menghadapi kasus seperti itu.
Scholten menyarankan agar pikiran tentang kekosongan dalam hukum sebagaimana tersebut diatas ditinggalkan saja dan tidak membuat perbedaan lagi antara penerapan hukum oleh hakim dan pembuatan hukum oleh pembuat undang-undang. Di dalam penerapan hukum juga dijumpai masalah penilaian dan tidak hanya menangani pengkotak-katikan pengertian-pengertian logis belaka. Dalam penerapan hukum selalu dijumpai adanya hal-hal baru yang ditambahkan. Keputusan yang dilakukan oleh hakim pada akhirnya merupakan suatu lompatan dari penalaran secara logis pada suatu penilaian.
Alasan lain yang menjadi dasar dari konsep Scholten adalah bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan norma-norma. Norma-norma itu merupakan peristiwa sejarah, oleh karena ditetapkan oleh badan-badan dan kekuatan-kekuatan yang konkrit terdapat di dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu, seperti pembuat undang-undang, kebiasaan bahkan juga tingkah laku hukum dari masyarakat.
Berdasarkan alasan-alasan itulah Scholten mengemukakan pendapatnya bahwa hukum itu merupakan sistem yang terbuka yang tidak hanya melihat ke belakang pada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang ke depan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.
- Penemuan hukum modern
Penemuan hukum modern lahir sesudah Perang Dunia II, dibawah pengaruh eksistensialisme dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim sebagai subsumptie automaat.
Dasar pemikiran atau pandangan ajaran ini diantaranya adalah :
- Positivisme undang-undang/legisme sebagai model subsumptie automaat tidaklah dapat dipertahankan;
- Yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan tetapi masalah kemasyarakatan konkrit yang harus dipecahkan;
- Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi tetapi tidak boleh diabaikan;
- Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama;
- Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia maka dalam menemukan harus diperhatikan pula perkembangan masyarakat dan perkembangan tekhnologi;
- Metode penafsiran yang digunakan terutama teleogis, yang lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang dari pada bunyi kata-katanya saja.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken” atau pandangan yang problem oriented dari ajaran freirechtbewegung, dimana pencari keadilan lebih diutamakan.
- Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
Di penghujung abad ke 20 lahirlah suatu aliran dalam ilmu hukum yang disebut dengan critikal legal studies. Sesuai dengan namanya maka aliran ini mengkritik secara konsepsional teori hukum tradisional yang berlaku pada saat ini. Aliran critical legal studies ini lahir di Amerika Serikat yang dibidani oleh sejumlah Profesor hukum yang berhaluan post modern[25] dari universitas terkemuka antara lain Universitas Havard pada akhir dekade 1970 an. Jadi yang dikritik sebenarnya adalah hukum Amerika tersebut.
Critical Legal Studies merupakan suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist)[26] dengan orientasi yang sama dengan orientasi politik “neo marxist” tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktik hukum yang ada pada dekade 1970 an, khususnya terhadap teori dan praktik hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut :
- Terhadap pendidikan hukum;
- Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum;
- Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.
Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970 an yang merupakan hasil dari suatu konfederasi tahun 1977 di Amerika Serikat. Pada saat hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa walaupun metode dan fokus berbeda, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Jerman, Perancis, dan Inggris.
Critical Legal Studies di Inggris lahir pada tahun 1984 dengan adanya konferensi yang membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan (law in action) dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konferensi tersebut dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies yang dilakukan oleh suatu organizing commitee yang beranggotakan para ahli hukum yaitu: Abel, Heller, Hoewitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan Unger.
Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam dekade 1960 an. Meskipun gerakan-gerakan tersebut bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang digunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang ortodoks dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang kaku (black letter law). Akan tetapi di lain pihak pada waktu yang bersamaan, gerakan ini juga mengakui keterbatasan dari pendekatan socio legal terhadap hukum yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan socio legal tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang bersifat black letter law tersebut.
Ajaran Critical Legal Studies ini memiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut :
- Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral;
- Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu;
- Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan;
- Aliran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Oleh karena itu ajaran ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum.
- Ajaran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktik dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik dari faham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory) tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis.
Perkembangan selanjutnya dari Critical Legal Studies adalah dengan munculnya generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekonstruksi kembali realitas sosial yang baru. Generasi kedua tersebut sekarang ini muncul dalam wujud Feminist Legal Theorist (fem-crit) dan critical race theorist (race-crit) dan yang masuk lebih jauh di bidang hukum adalah radical criminology. Dewasa ini aliran-aliran seperti itu telah mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat sudah sangat sadaar bahwa hukum yang ada sekarang bukanlah pelindung (protector) melainkan sudah menjadi penindas (oppressor).
- Gagasan hukum Progressif
Gagasan hukum progresif dilontarkan oleh pakar sosiologi hukum yaitu Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Menurutnya hukum hendaknya mengikuti perkembangan hukum, mampu menjawab perkembangan zaman. Berdasarkan semangat mengikuti perkembangan zaman itulah gagasan progresivitas hukum dibangun.
Menurut Satjipto Rahardjo[27], pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap hari. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan[28].
Sebagaimana diuraikan di atas, hukum progresif lebih dekat ke interessenjurisprudenz. Searah dengan hukum progresif, Interessenjurisprudenz ini berangkat dari keraguan tentang kesempurnaan logika yuridis dalam merespons kebutuhan atau kepentingan sosial dalam masyarakat. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu dalam fora kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Hukum progresif seperti halnya interssenjurisprudenz tidak sekali-kali menafikan peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meskipun demikian, tidak seperti legisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal. Hukum Progresif merangkul baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam tiap putusan.
Bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang cenderung menepis dunia di luar dirinya seperti manusia, masyarakat, kesejahteraannya. Meminjam istilah Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat responsif. Dalam tipe yang demikian itu, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan[29].
Lebih lanjut dikatakan bahwa antara hukum progresif dengan legal realism juga memiliki kemiripan logika yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri. Baik hukum progresif maupun legal realism melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.
Selain dekat dengan aliran-aliran tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki kedekatan ide dengan Teori-Teori Hukum Alam yaitu kepedulian pada apa yang oleh Hans Kelsen disebut meta-yuridical. Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan the search for justice[30].
Berdasarkan perkembangan aliran-aliran metode penemuan hukum sebagaimana diuraikan diatas maka metode penemuan hukum sebagai salah satu atau bentuk tekhniko yuridik yang dihasilkan dari kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowlwdge and experience) yang ingin dicapai melalui judicial activism disini adalah sesuai dengan jiwa dan semangat aliran progresif. Aliran progressif memberikan pencerahan hukum bagi peradilan yang akan merupakan alat untuk melakukan perubahan-perubahan sosial melalui putusan-putusan hakim.
Penerapan konsep hukum sebagai sarana perubahan-perubahan sosial law as a tool of social engineering dapat dijalankan melalui konsep penemuan hukum (rechtsvinding) seperti penafsiran kontemporer (contemporary interpretation), penafsiran sosiologis dan lain-lain metode penemuan hukum.
Konsep hukum progresif dari Satjipto Rahardjo seperti juga Holmes, Brendeis dan Cardozo adalah persoalan penerapan hukum bukan pembentuk undang-undang. Progresivisme memaknai the living law yang semestinya menjadi dasar memutus bukan the living law yang dibentuk hakim, melainkan hukum yang secara nyata ada di masyarakat (law as social facts).[31]
Hakim semata-mata memutus atas dasar pertimbangan dan menurut rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat atau kepentingan keadilan pencari keadilan. Secara lebih mendasar, pemikiran ini sangat dekat juga dengan peradilan equity di Inggris. Hakim memutus semata-mata atas dasar pertimbangan keadilan bukan memutus menurut hukum (Common Law, precedent atau suatu hukum tertulis).[32]
Seorang hakim (dalam hal ini Hakim Perdata) pada saat menghadapi kasus-kasus konkret yang harus diadili, dimana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat yang senantiasa berkembang maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk mencari hukum dan menemukan hukum solusi dalam kasus yang dihadapi yang harus dipecahkan dan diputuskan secara cepat dan adil. Dalam kerangka berpikir demikian judicial activism dilakukan oleh hakim dan peradilan untuk menjawab dan mengisi kekosongan hukum dalam mengikuti perkembangan dan dialektika hukum dalam masyarakat sehingga putusan-putusan peradilan dapat mencerminkan rasa keadilan.
Simpulan
- Judicial activism sangat penting dipahami dan diimplementasikan oleh hakim perdata mengingat adanya karakteristik hukum acara dalam proses pemeriksaan di persidangan, yaitu peran hakim dalam memimpin persidangan, hakim dalam proses persidangan mendengar kedua belah pihak, bersifat terbuka dan putusan hakim disertai alasan-alasan yang logis, yang bersumber dari undang-undang, perjanjian (antar negara), kebiasaan, doktrin dan selain itu hukum perdata kebanyakan berkembang melalui putusan pengadilan (yurisprudensi). Sehubungan dengan karakteristik tersebut maka diperlukan judicial activism melalui metode penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan masyarakat.
- Ada berbagai macam aliran dalam metode penemuan hukum. Aliran progresif dalam metode penemuan hukum selaras dengan hakikat yang ingin dicapai melalui judicial activism. Aliran progresif ini merupakan pembaruan pandangan dalam rechtvinding sebagai reaksi atas aliran lama yang konservatif.
DAFTAR RUJUKAN
Adriaan W. Bedner, Administrative Courts in Indonesia : a socio-legal study, Penerjemah, Indra Krishnamurti, 2010, Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia Sebuah Studi Sosio Legal, Jakarta : HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV.
Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta : UII Press.
Bernard L. Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta : Genta Publishing.
——————– dkk, 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing.
Hans Kelsen, 2012, Pengantar Teori Hukum, Bandung : Nusa Media.
Imam Syaukani dkk, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Nico Ngani, 2012, Bahasa Hukum Dan Perundang-undangan, Yogyakarta : Pustaka Yustisia.
Paulus Effendi Lotulung, 2013, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Jakarta : Salemba Humanika.
—————————–, Makalah dengan judul : Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan : Judicial Activism Dalam Kontek Peradilan TUN, disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia hari Rabu tanggal 21 September 2011.
Rusli Muhammad, 2013, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial, Yogyakarta : UII Press.
Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Penerjemah : Narulita Yusron, Gerakan Studi Hukum Kritis 2012, Bandung : Nusa Media.
———————, Law and Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory, Penerjemah Dariyanto dan Derta Sri Widowatie, Teori Hukum Kritis Posisi Dalam Masyarakat Modern, Bandung : Nusa Media.
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty.
————————– dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti.
S.F. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Yogyakarta : FH UII Press.
Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, Jakarta : Rajawali Pers.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1]Hakim Pengadilan Negeri Sleman. Alumni S3 FH UNS.
[2]Makna disini diartikan sebagai penggantian, perubahan dan pembaharuan karena adanya kebutuhan atau hukum yang lama itu tidak sesuai dengan kondisi yang ada.
[3]Sementara Yurisprudensi Perdata melalui putusan-putusan yang konsisten memberikan dampak paling signifikan dalam dinamika perkembangan Perdata dalam memenuhi kebutuhan praktis untuk memperlancar jalannya persidangan
[4]M. Fauzan, Filsafat Hermeneutika Sebagai Metode Penemuan Hukum Yurisprudensi, Varia Peradilan Nomor 290 Januari 2010.
[5]Dalam kenyataannya problematik penemuan hukum tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk undang-undang saja, berbagai pihak melakukan penemuan hukum. Boleh dikatakan setiap orang yang berkepentingan dalam suatu perkara melakukan kegiatan menemukan hukum untuk peristiwa konkrit lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, h.38.
[6] Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, Yogyakarta : UII Press, hal.2.
[7] Tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[8] Ada tiga tindakan secara bertahap yaitu mengkonstatir (mengkonstasi), mengkwalifisir (mengkwalifikasi) dan mengkonstituir (mengkonstitusi).
[9] Paulus Effendi Lotulung, 2013, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Jakarta : Salemba Humanika, h. 99.
[10] Ibid., h.100.
[11] Sistem hukum di Indonesia pada umumnya terkena pengaruh sistem hukum civil law (Eropa Kontinental)
[12] Paulus Effendi Lotulung, Makalah dengan judul : Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan : Judicial Activism Dalam Kontek Peradilan TUN, disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia hari Rabu tanggal 21 September 2011.
[13] Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum Upaya mewujudkan Hukum yang pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta : FH UII Press, h.104.
[14] Ibid., hal. 109.
[15] Ibid. h. 110.
[16] Lihat antara lain : Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, h. 54-67; Bambang Sutiyoso, Op. Cit. , h. 111-128.
[17] Sebagaimana dikutip Shidarta dalam Bambang Sutiyoso, Ibid., h.134.
[18] Ibid., h. 134-135.
[19] Bos sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, h.73.
[20] Bambang Sutiyoso, Op. Cit. h. 146.
[21] Sebagaimana dikutif Achmad Ali dalam Bambang Sutiyoso, Ibid.
[22] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Op. Cit., h. 73.
[23] Lahirnya aliran-aliran penemuan hukum pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mngenai apa yang mrupakan (satu-satunya) sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang teori atau ajaran sumber hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo. Op. Cit. h. 94.
[24] Lihat Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, h. 9, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, h 94, Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, h. 75.
[25] Roberto M. Unger, Law and Modern Society : Toward a Critism of social Theory, Terjemahan : Dariyanto dan Dertan Sri Widowatie, 2010, Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern.
[26] Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan : Narulita Yusron, 2012, Gerakan Studi Hukum Kritis, Bandung : Nusa Media.
[27] Lihat dalam Bernard L. Tanya dkk, 2013, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, h.190.
[28] Ibid., h. 191.
[29] Ibid., h. 192.
[30] Ibid, h. 193.
[31] Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan Dengan UUD 1945, Artikel Varia Peradian No 328 Maret 2013.
[32] Ibid.