Efektivitas Bentuk Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi dalam Menanggulangi Kasus Perusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup berdasarkan UUPPLH
Oleh: Cahyono
(Hakim Pengadilan Negeri Sleman)
Dewasa ini hukum lingkungan telah berkembang dengan pesat, bukan saja dalam hubungannya dengan fungsi hukum sebagai perlindungan, pengendalian dan kepastian hukum bagi masyarakat (social control) dengan peran agent of stability, tetapi lebih menonjol lagi sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering) dengan peran sebagai agent of development atau agent of change. Sebagai disiplin ilmu hukum yang sedang berkembang, sebagian besar materi hukum lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi (administratief recht). Dari substansi hukum menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan administrasi, hukum lingkungan keperdataan dan hukum lingkungan kepidanaan.
Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks, tidak hanya bersifat praktis, konseptual, ekonomi saja, tetapi juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis. Hukum pidana tidak hanya melindungi alam, flora dan fauna (the ecological approach), tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the antropocentris approach). Dengan demikian muncul istilah “the environmental laws carry penal sanction that protect a multimedia of interest”.[1]
Perkembangan undang-undang tentang lingkungan hidup khususnya di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa Bangsa pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)“. Selanjutnya konferensi Internasional tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972 telah menghasilkan “Deklarasi Stockhlom” yang berisi 26 asas berikut 109 rekomendasi pengimplementasiannya dan sebagai tindak lanjut dari konferensi tersebut 10 tahun kemudian, pada tanggal 11 Maret 1982 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) yang telah menandai awal pembangunan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam mencermati perkembangan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka menyempurnakan undang-undang lingkungan hidup. Pada tahun 1982 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982. Selanjutnya undang-undang tersebut disempurnakan dengan lahirlah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH) dan kemudian direvisi kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Dengan adanya UUPPLH diharapkan kewenangan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi berkekuatan secara hukum dan memiliki otoritas yang lebih luas.[2]
Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa, puncak gunung, sampai ke perut bumi dan dasar laut dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa. Oleh karena itu sifat undang-undang lingkungan hidup mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang memuat asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi sebagai “payung” (umbrella act)[3] bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Selanjutnya agar suatu norma atau suatu peraturan perundang-undangan itu dapat dipatuhi oleh setiap warga masyarakat, maka di dalam norma atau peraturan perundang-undangan biasanya diadakan sanksi atau penguat. Sanksi tersebut bisa bersifat negatif bagi mereka yang melakukan pelanggaran, akan tetapi juga bersifat positif bagi mereka yang mematuhi atau mentaatinya.
Ada berbagai sanksi dalam hukum lingkungan diantaranya adalah penggunaan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan, Siti Sundari Rangkuti[4] yang telah melakukan penelitian tentang berbagai sanksi tersebut mengambil kesimpulan sebagai berikut :
- Bagian terbesar dari hukum lingkungan merupakan hukum administrasi negara, karena itu sanksi administratif sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup;
- Hinder Ordonnantie (Stb. 1926 No, 226) perlu segera dirubah atau dicabut, sedang prosedur perizinan hendaklah disempurnakan dengan memperhitungkan kepentingan ekologik demi pembangunan yang berwawasan lingkungan;
- Gugatan ganti kerugian terhadap perusak dan atau pencemar lingkungan dapat diajukan ke pengadilan berdasarkan undang-undang lingkungan hidup dan Pasal 1365 BW mengenai perbuatan melawan hukum tetapi asas schuldaansprakelijkheid yang terkandung dalam pasal tersebut merupakan hambatan bagi penggugat;
- Beban pembuktian menurut Pasal 1865 BW sangat memberatkan penggugat yang biasanya awam dalam hukum sehingga perlu dipikirkan kemungkinan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam perkara lingkungan;
- Sanksi pidana bukan pemecahan utama dalam penanggulangan masalah pencemaran lingkungan, tapi hanya merupakan ultimatum remedium;
- Badan hukum keperdataan dapat dikenakan sanksi pidana dalam perkara perusakan atau pencemaran lingkungan;
- Delik lingkungan perlu dirumuskan dalam pengertian yang terkandung dalam undang-undang lingkungan hidup guna memudahkan penyelesaian perkara di pengadilan;
- Aparat kepolisian sebagai penyidik perkara lingkungan hendaknya mampu menyajikan alat bukti yang kuat dan meyakinkan agar penegakan hukum terhadap pasal undang-undang lingkungan hidup dapat berhasil;
- Sanksi hukum terhadap penguasaan dalam fungsinya sebagai pengelola lingkungan adalah sanksi administratif, sedang sanksi pidana dapat dikenakan kepada penguasa yang bertindak sebagai pribadi terlepas dari tugas dan wewenangnya;
- Ketentuan pidana dalaam berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan UU lingkungan hidup;
- Peraturan perundang-undangan lingkungan (millieuwetgeving) dimasa mendatang hendaklah memuat dan memperhatikan prinsip-prinsip hukum lingkungan;
- Keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu memerlukan kerjasama yang serasi antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Persoalan digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Dalam konteks penegakan hukum lingkungan melalui jalur pidana bisa digunakan dalam berbagai kasus yang melibatkan korporasi.[5]
Berbagai upaya dilakukan dalam penanganan kejahatan lingkungan, Dalam praktiknya, ada berbagai kendala yang muncul sehingga penegakan hukum lingkungan belum optimal. Salah satu kasus masalah pencemaran laut yang diangkat kembali[6] adalah pencemaran yang diakibatkan anjungan pengeboran minyak di Montara Blok West Atlas Laut Timor, perairan Australia yang meledak dan terbakar pada 21 Agustus 2009. Setiap hari sekitar 400 barel (64 ton) minyak mentah tumpah ke laut lepas. Sembilan hari kemudian, tumpahan minyak mentah itu sudah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang berbatasan dengan ZEE Australia. Ladang Minyak Montara terletak sekitar 690 kilometer di sebelah barat Darwin dan 250 klometer di barat laut Truscott, Australia Barat. Penanggungjawab pengeboran adalah PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia Pty Ltd. yang bermarkas di Perth. Perusahaan ini adalah anak usaha PTTEP Thailand, yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Kebocoran kilang minyak itu akhirnya bisa ditutup pada 3 November 2009. Namun tumpahan minyak terlanjur mengalir ke perairan Indonesia. Misalnya pada 1 September 2009, jejak tumpahan minyak ditemukan pada jarak 51 mil laut dari Pulau Rote. Dampaknya terasa sampai dua tahun setelah kebocoran itu. Pada tahun pertama setelah kebocoran, hasil tangkapan ikan nelayan di wilayah Timor Barat anjlok sekitar 85 %. Hasil panen petani rumput laut juga berkurang hampir 90 % dari saat normal. Pemerintah Indonesia menghitung kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi sekitar Rp. 22 triliun. Biaya tersebut termasuk biaya pemulihan lingkungan akibat kebocoran sumur minyak tersebut.[7]
Proses penyelesaian melalui jalur negosiasi dilakukan mulai 27 Juli 2010 dan pada beberapa pertemuan awal PTTEP menunjukkan iktikat baik mereka. Kedua pihak sepakat menuangkan poin-poin kesepakatan dalam nota kesepahaman (MoU), namun dalam perjalanannya proses tersebut menjadi “ruwet” dengan berbagai macam alasan. Jalur diplomasi langsung ke pemerintah Thailand pun sudah dilakukan tetapi belum membuahkan hasil. Mentok di jalur negosiasi, pada Mei 2013, tim Kementrian Lingkungan membuat kajian soal peluang membawa kasus Montara ke jalur hukum. Pemerintah Indonesia akan menempuh jalur hukum internasional, hukum perdata dan hukum pidana.[8]
- Perumusan Masalah
- Mengapa bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi belum efektif dalam menanggulangi kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup ?
- Upaya apa yang seharusnya dilaksanakan agar bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dapat berlaku secara efektif ?
- Pembahasan
- Bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi belum efektif dalam menanggulangi kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup
Jutaan yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air atau pencemaran lingkungan, seperti yang dipermasalahkan sekarang sebab manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam untuk menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system).
Bahkan pada tahap awal industrialisasipun pada saat gumpalan asap mulai mengotori udara, air limbah mengotori air (sungai dan laut) dan sampah-sampah dibuang di atas tanah yang subur, orang masih percaya pada kemampuan udara untuk membersihkan sendiri, air (sungai maupun laut) dapat mengencerkan benda-benda asing itu secara alamiah tanpa perlu khawatir akan bahayanya. Demikian pula halnya dengan manusia yang hidup di planet bumi, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan pada setiap waktu, tempat dan keadaan tertentu evolusi atas dasar terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri.
Setelah berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960-1970) manusia mulai sadar bahwa manusia tidak pernah bisa menaklukan alam. Ketergantungan pada alam atau lingkungan untuk memperoleh keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi. Agar pengontrolan atau pengawasan yang dilakukan jalur hukum dapat berlaku secara efektif, maka hukum dalam aktivitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat juga dilakukan oleh suatu badan hukum[9] yang merugikan masyarakat, maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.
Adapun teori-teori yang berlaku terhadap poses pemidanaan suatu badan hukum antara lain[10] :
- Ultra vires
- Teori keagenan
- Teori surat kuasa
- Alter ego
- Respondeat superior
- Piercing the corporate veil
- Deep pocket theory
- Strict liability
- Vicarious liability
- Pembuktian terbalik
- Fiduciary duty
- Inhouse management rule
- Insider trading
Ada beberapa tahapan perkembangan yang memberikan pengakuan pada korporasi sebagai subjek tindak pidana : Pertama, tahapan ini ditandai dengan usaha agar tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan (naturlijk person). Pembentuk undang-undang sejak tahun 1886 telah memasukkan dalam beberapa peraturan dan undang-undang. Namun kesulitan timbul ketika perumusan perbuatan pidana tersebut secara jelas atau implisit ditujukan pada keadaan yang hanya dimiliki oleh badan hukum sendiri. Melakukan perbuatan pidana (plegen) pada waktu itu diartikan sebagai suatu perbuatan fisik oleh pembuat. Sesudah itu timbul perubahan perlahan-lahan. Kemudian akhir tahun empat puluh dan permulaan tahun kelima puluh pandangan ini dikukuhkan dalam beberapa putusan hakim.[11]
Kedua : tahap ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Namun tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Perumusan yang khusus ini yaitu apabila suatu perbuatan pidana dilakukan oleh karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Pertanggungjawaban pidana langsung dari korporasi masih belum muncul.
Ketiga : Tanggungjawab pidana langsung dari korporasi pada akhirnya dianut yaitu pada waktu dan sesudah Perang Dunia II. Korporasi dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana, disamping sebagai pemberi perintah atau pimpinan yang nyata telah berperan pada perbuatan pidana itu. Hal ini terjadi pertama kali untuk ordenings strafrecht dalam putusan pengendalian harga pada tahun 1941.[12]
Sedangkan perkembangan sejarah korporasi sebagai subjek tindak pidana di Inggris sebagaimana diuraikan John C. Coffee, Jr.[13]
- Adanya doktrin respondeat superior (yaitu prinsip bahwa seseorang bertanggungjawab secara perdata untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh agen/anak buahnya) dalam hukum ganti rugi (tort law) pada abad 19 yang kurang mempunyai landasan konseptual untuk mempertanggungjawabkan perbuatan individu kepada korporasi.
- Sulitnya mencari unsur mens rea pada korporasi.
- Adanya doktrin ultra vires yang mengandung hambatan konseptual, karena sampai abad 19 doktrin ini membatasi kekuasaan korporasi pada perbuatan-perbuatan yang dibenarkan menurut anggaran dasar. Hal ini dikarenakan anggaran dasar secara formal hanya memberi kewenangan kepada korporasi untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan hukum maka secara logis korporasi tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan kejahatan.
- Penuntutan korporasi tidak dapat dicocokkan dengan persyaratan prosedural yang kaku, antara lain terdakwa dihadirkan secara personal ke pengadilan. Hukum Inggris tidak menyukai peradilan in absensia.
Akan tetapi hambatan-hambatan ini tidak sepenuhnya menghalangi adanya pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya industrialisasi di Inggris pada pertengahan abad 19. Pengadilan-pengadilan waktu itu dihadapkan pada pelanggaran-pelanggaran hukum oleh perusahaan-perusahaan kereta api dan mereka merespon dengan menyatakan bahwa korporasi itu sendiri dapat dituntut untuk tindak pidana omissi (kasus Regina versus Brimingham & Gloucester Railway). Perkembangan selanjutnya yaitu pada permulaan abad 20. Akan tetapi ada perbedaan mendasar antara pengadilan di Amerika dan pengadilan di Inggris yaitu [14]:
- Pengadilan di Amerika
Pengadilan Amerika merespon suasana politik di era kemajuan dengan memperluas pertanggungjawaban korporasi pada delik-delik mens rea dan dengan membuat tidak relevan tingkatan/kedudukan agen di dalam hirarki korporasi. Kasus yang menonjol adalah putusan Supreme Court tentang New York central & Hudson River R.R.v United States (1909) yang memperkuat/membenarkan larangan memberikan potongan harga (rebate) oleh perusahaan-perusahaan angkutan umum (common carriers) dalam perdagangan antar negara sebagaimana ditetapkan dalam Elkins Act 1903.
- Pengadilan di Inggris
Pengadilan Inggris menganut secara sempit alter ego atau teori organ (yaitu teori pertanggungjawaban korporasi pada delik-delik mens rea) yang menyatakan bahwa hanya pada perbuatan dari pejabat senior (yang merupakan otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Korporasi hanya bertanggungjawab untuk perbuatan-perbuatan dari alter ego-nya, maka pertanggungjawaban korporasi tidaklah bersifat vicarious karena perbuatan jahat atau kesengajaan tidaklah dihubungkan/dipersalahkan dari agen ke kepala (principal) tetapi lebih pada korporasi yang ditetapkan sesuai dengan tujuan hukum pidana, dibatasi pada pejabat senior dan para direkturnya.
Teori pidana terhadap hukum selanjutnya memunculkan konsep kejahatan korporasi (corporate crime). Yang dimaksud dengan corporate crime (kejahatan korporasi) adalah suatu tindakan yang berupa berbuat atau tidak berbuat oleh perkumpulan atau badan hukum melalui organ-organnya yang membawa keuntungan bagi badan hukum atau perkumpulan tersebut, tetapi dilakukan dengan melanggar aturan hukum yang termasuk golongan ketertiban umum sehingga dapat digolongkan ke dalam perbuatan pidana, yang membawa akibat kerugian terhadap orang lain atau terhadap masyarakat luas.
Suatu tindak pidana dilakukan oleh sebuah korporasi sehingga dibebankan tanggung jawab pidana merupakan perkembangan teori baru dari teori-teori yang membebankan tanggungjawab perdata kepada badan hukum. Oleh karena itu muncul pro dan kontra di antara para ahli tentang pemidanaan badan hukum/korporasi. Namun tren atau kecenderungan yang jelas secara universal adalah semakin lama semakin banyak negara-negara di dunia yang menganut, mengatur, dan menyetujui diberlakukannya tindak pidana oleh badan hukum/korporasi ini.
Selanjutnya di berbagai negara, umumnya terjadi proses penentuan tindak pidana korporasi yang ‘’merangkak’’ (creeping corporate crime) dan ‘’berputar dalam lingkaran’’ (vicarious circle) dengan jalan sebagai berikut :
- Mula-mula yang bertanggungjawab terhadap suatu tindak pidana adalah pribadi-pribadi anggotanya/pemiliknya/pemegang sahamnya;
- Selanjutnya hanya pribadi pengurus (misalnya direktur pribadi) yang dapat dianggap pelaku tindak pidana, sedangkan perusahaan dianggap tidak mungkin melakukan tindak pidana;
- Perkembangan selanjutnya adalah telah diakui tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dalam kedudukannya selaku direktur perusahaan, jadi bukan hanya sebagai pribadi dalam kedudukannya selaku pribadi;
- Kemudian berkembang teori-teori hukum yang mengajarkan bahwa perusahaan-perusahaan juga dapat melakukan tindak pidana korporasi tetapi masih bersama-sama dengan direksinya;
- Berkembang teori yang mengajarkan bahwa perusahaan (korporasi) sendiri dapat melakukan tindak pidana secara penuh dengan atau tanpa tindak pidana yang dilakukan oleh para pengurusnya. Tindak pidana langsung dilakukan oleh badan hukum dan yang bertanggungjawab juga badan hukum, hal ini tejadi umumnya sejak setelah PD II;
- Perkembangan selanjutnya adalah bahwa perusahaan sendiri bersama-sama dengan para anggota/pemegang sahamnya dapat melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Misalnya melalui teori penerapan piercing the corporate veil;
- Tetapi perkembangan kemudian adalah membebankan kembali tindak pidana kepada para anggota/pemegang saham dari perusahaan tersebut, meskipun tindak pidana tersebut dilakukan oleh badan hukum. Misalnya lewat teori piercing the corporate veil. Jadi seperti dalam lingkaran yakni kembali lagi ke asal mula perkembangan tindak pidana korporasi tersebut.
Dalam perkembangan dewasa ini,[15] terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak ataupun negara. Pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan ke dalam enam jenis yaitu : pelanggaran hukum administratif, pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan, manufacturing dan persaingan dagang yang tidak fair. Mengenai pencemaran lingkungan, Clinard mengemukakan :
‘’…the country’s natural resources have been exploited without regard either to the harmfull effect on the current population or the possible detriment to future generations. Great and small rivers have been polluted with chemicals and other dischange, the air around industrial plants and in the cities has often become largerly unfit to breathe, fertile and beautiful lands have been ravaged by strip mining, and other natural resources have been want only destroyed”.[16]
Badan hukum dijadikan subjek hukum pidana di Indonesia, mulai dikenal sejak tahun 1951 yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang yang kemudian tidak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 8 Tahun 1962. Setelah itu mulai dikenal secara luas pada tahun 1955 yaitu dengan keluarnya Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi Undang-undang No. 7/Drt/1955 dan Undang-undang No. 11/PNPS/1963 tentang Tindak Pidana Subversi. Dengan demikian mulai tahun 1955, dalam bidang-bidang tertentu diluar KUHPidana (tindak pidana khusus) badan hukum yang melakukan tindak pidana serta dijadikan subjek hukum pidana sudah dikenal dan ditetapkan dalam perundang-undangan di Indonesia.
Penerapan sanksi pidana bagi badan hukum atau korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan hidup bisa dilihat dalam teori Herbert L. Packer tentang teori penjatuhan pidana yaitu teori retribution, teori utilitarian dan teori behavioral.[17] Menurut teori retribution (teori pembalasan) bahwa hakikat dan pembenaran dari pemidanaan itu adalah pembalasan. Seorang yang telah melakukan kejahatan harus dibalas dengan hukuman penderitaan yang setimpal sebagai tebusan dari kejahatan yang telah dilakukan. Menurut teori utilitarian (teori manfaat) bahwa hakikat dan pembenaran dari pemidanaan adalah terletak pada manfaat bagi si pelaku kejahatan agar tidak berbuat lagi, disamping bermanfaat terhadap orang lain/masyarakat guna mencegah tidak melakukan kejahatan. Menurut teori behavioral (teori perilaku), pembenaran dari pemidanaan adalah melalui pendekatan perilaku manusia atau orang yang melakukan kejahatan. Dengan mengetahui sebab-sebab orang berperilaku jahat maka dapat mengetahui bagaimana cara menyelesaikan, cara melumpuhkan atau mengasingkan ke penjara atau dengan cara membina agar tidak melakukan kejahatan lagi. Berdasarkan teori penjatuhan hukum pidana tersebut di atas, teori yang dapat diterapkan pada korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan hidup adalah teori utilitarian dengan asumsi bahwa penerapan sanksi pidana bermanfaat mencegah korporasi tidak melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup.
Permasalahan selanjutnya terkait pertanggungjawaban pidana jika suatu pencemaran/perusakan lingkungan hidup dilakukan oleh badan hukum. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat. Namun ini juga tergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditentukan oleh pembuat undang-undang. Selama ini ada bermacam-macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang yaitu :
- Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang, perumusan ini diatur dalam KUHP (W.v.S);
- Yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang dan atau perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang-orang. Dalam hal perserikatan yang melakukan, yang dapat dipertanggungjawabkan ialah (anggota) pengurus. Perumusan ini terlihat pada Ordonansi Devisa, Undang-undang Penyelesaian Perburuhan dan Peraturan Kecelakaan;
- Yang dapat melakukan maupun yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang dan/atau perserikatan itu sendiri. Perumusan ini terlihat dalam Undang-undang Narkotika.
Berdasarkan ketiga perumusan yang pernah ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan di atas, maka ada 3 golongan yang dapat dipertanggungjawabkan apabila melakukan suatu tindak pidana, yaitu : orang sebagai pribadi yang melakukan, orang sebagai pengurus badan hukum dan badan hukum itu sendiri.
Permasalahan dapat dipidananya badan hukum tidak terlepas pada sistem perumusan yang menyatakan bahwa badan hukum itu sendiri dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Adapun motivasi dari adanya sistem pertanggungjawaban badan hukum ini didasarkan pada perkembangan terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup.
Selanjutnya apabila suatu badan hukum melakukan pencemaran lingkungan hidup maka yang dapat dituntut pertanggungjawaban adalah manusianya, korporasinya (badan hukum) dan bisa kedua-duanya.[18] Adapun hukuman pidananya dapat dijatuhkan secara kumulatif, yaitu hukuman penjara dan hukuman denda. Pidana berupa denda harus dijatuhkan terhadap perusahaan berupa korporasi (badan hukum) dan pidana penjara bagi pengurus yang bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran tersebut.[19]
Bagan 1 : Sanksi Pidana Dalam UPPLH
Selain pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.[20] Selain itu pelaku badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.[21]
Dalam hal pertanggungjawaban badan hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
- Korporasi dapat bersifat pivat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
- Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional maka orang alamiah (manages, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-punishment provision);
- Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;
- Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
- Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Di Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengertian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
- Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;
- Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh korporasi tersebut.
Terkait dengan penegakan hukum lingkungan, sebagai contoh yaitu data yang diambil dari Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) pada bulan Agustus 2003 yang lalu, terdapat 12 (dua belas) kasus pidana yang diajukan ke pengadilan : 2 (dua) kasus dibebaskan, 6 (enam) kasus dihukum dengan hukuman percobaan, 3 (tiga) kasus dihukum karena tindak pidana pencemaran oleh perusahaan, tetapi yang dihukum hanya pada tingkat kepala bagian dan pelaku lapangan ‘’illegal logging’’, 1 (satu) kasus dijatuhi hukuman, tetapi tidak dapat dijalankan karena terdakwa telah meninggalkan Indonesia dan 1 (satu) kasus dijatuhi hukuman denda.[22] Berdasarkan hal tersebut di atas, masyarakat khususnya LSM Lingkungan telah memberikan apresiasi yang kurang memuaskan pada dunia peradilan (baik perdata dan pidana) di Indonesia yang belum mampu memberikan kontribusi terhadap pemulihan hak masyarakat yang dilanggar dan upaya-upaya litigasinya; serta hukuman tersebut dalam kasus-kasus pidana sama sekali tidak memberikan ‘’efek jera’’ (detterent effect); sehingga masyarakat dewasa ini mengharapkan adanya perubahan yang signifikan terhadap putusan yang berkeadilan dan bermanfaat yang lebih baik terhadap lingkungannya yang telah rusak dan tercemar tersebut, walaupun pada faktanya sangatlah syarat berbagai dimensi yang berkaitan pula dengan kebijakan perusahaan, keprofesionalan pelaksana, bencana alam, dan pengaruh elit politik sebagaimana dalam penyelesaian kasus lumpur “Lapindo’’, dan sebagainya.
- Upaya yang seharusnya dilaksanakan agar bentuk pertanggungjawaban pidana bagi Korporasi dapat berlaku secara efektif
Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal orang perorang atau kelompok orang sebagai subjek hukum, yaitu sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum mengacu kepada orang atau manusia.
Kejahatan korporasi dilakukan selain dalam skala nasional juga dilakukan dalam skala internasional. Ada beberapa contoh dimana perusahaan-perusahaan besar dunia yang melakukan kejahatan korporasi yang telah menimbulkan kerugian yang cukup besar kepada umat manusia, antara lain : terkurasnya sumber daya yang berasal dari sumber-sumber alam seperti menebang habis hutan, hasil tambang, kerusakan lingkungan seperti tercemarnya air, tanah, terbuangnya sampah dan limbah beracun misalnya : kasus lumpur PT Lapindo di Jawa Timur, tumpahnya minyak di teluk Meksiko dan beberapa tempat lain, kerusakan tanah akibat tambang emas PT Freeport di Papua, bocornya gas di Bhopal India atau bocornya gas Chernobil (Ukraina) dan lain-lain.[23]
Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum[24] berskala nasional dan internasional yang merugikan masyarakat sebagaimana contoh di atas, maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.
Agar pengontrolan atau pengawasan melalui jalur hukum dapat berlaku secara efektif, maka hukum dalam aktivitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Lingkungan Hidup di Indonesia yang berfungsi untuk melindungi asset, alam lingkungan di Indonesia yang telah tercemar dan/ataupun dirusak tersebut.
Dalam kasus bocornya anjungan pengeboran minyak di laut Montara pada tahun 2009 nampaknya proses negosiasi yang semula terlihat mudah menjadi ruwet. Hal ini terlihat pihak PTTEP terus mengulur waktu penandatanganan MOU dengan berbagai alasan, contohnya : pergantian kabinet, banjir di Thailand, dan bolak-balik mengganti tim perunding. Kemudian pada bulan September 2011 Executive vice President PTTEP Group membuat pernyataan dengan memberi kesimpulan kebocoran minyak Montara tidak merusak lingkungan hidup dengan alasan sebagian besar tumpahan minyak Montara mengalir ke perairan Australia. Pada Mei 2012, PTTEP kembali menjanjikan CSR US$ 5 juta dengan permintaan poin yang menyebutkan perihal pencemaran minyak telah masuk ke wilayah Indonesia dihapuskan dalam draf MOU dan pemerintah Indonesia menolak syarat tersebut. Melihat gelagat buruk tersebut, pada akhir 2012 tim negosiasi merekomendasikan pemerintah Indonesia menempuh jalur hukum.[25]
Dalam kasus Montara, pemerintah bisa menempuh jalur hukum internasional, hukum pidana dan hukum perdata. Upaya jalur hukum internasional, Indonesia bisa memakai sejumlah Deklarasi Internasional di bidang lingkungan misalnya : Rio Declaration on Evironment 1992 dan Stockholm Declaration on Human Environment 1972. Pilihan berikutnya, pemerintah Indonesia dapat menuntut PTTEP ke jalur perdata; dengan menggugat PTTEP di Pengadilan Perth atau di Jakarta. Di Negara Australia, pihak Indonesia dapat menuntutnya dengan menggunakan berbagai ketentuan Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, Yurisprudensi Mahkamah Internasional, dan Undang-undang Lingkungan Hidup Australia. Adapun persengketaan di Jakarta, pemerintah Indonesia dapat menggunakan hukum perdata dan undang-undang lingkungan hidup Indonesia.
Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi (Corporate Criminal Responsibility) dalam perundang-undangan lingkungan hidup meliputi sebagai berikut : [26]
- Siapa yang dipertanggungjawabkan
Formulasi suatu undang-undang dengan menjadikan badan hukum (korporasi) sebagai subjek tindak pidana merupakan fenomena dalam berbagai macam perundang-undangan misalnya UU Pasar Modal, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Lingkungan Hidup dan sebagainya.
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana (salah satunya dalam UUPPLH) sejalan atau sesuai dengan perkembangan dunia Internasional yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana lingkungan hidup. Salah satunya adalah International Meeting Of Expert On The Use Of Criminal Sanction In The Protection of Environment, Internationally, Domestically and Regionally di Portland, Oregon, USA 19-23 March 1994. Menurut pertemuan para pakar internasional ini, nilai atau kepentingan yang perlu dilindungi oleh hukum pidana adalah lingkungan itu sendiri baik berupa natural environment maupun cultural environment. Selain itu perlindungan terhadap lingkungan ini harus ditempuh secara gabungan antara hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Sedangkan dalam menggunakan hukum pidana terhadap TPLH dimungkinkan Corporate Criminal Responsibility.
- Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana
Pada umumnya pembuat undang-undang menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dengan rumusan sebagai berikut : ‘’Jika tindakan pidana dilakukan oleh korporasi…dst.’’. Perumusan ini bisa dilihat dalam UU Psikotropika dsb., akan tetapi dalam undang-undang tersebut tidak secara jelas menentukan kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana.
- Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan
Mengenai cara penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban badan hukum ini terdapat perbedaan pendapat. Soeprapto berpendapat bahwa tidaklah mungkin badan hukum dipertanggungjawaban juga atas perbuatan orang lain (manager) yang melakukan dengan sengaja. Hal itu tidak mungkin karena badan hukum tadi tidak ada unsur kesengajaan.
Terkait asas kesalahan dengan masalah pertanggungjawaban pidana korporasi ini maka menurut Van Bemmelem[27] persoalan tersebut akan timbul terutama pada delik-delik dengan unsur kealpaan (culpa) karena kealpaan ini (juga kesengajaan) dapat timbul dari perbuatan kerjasama (disadari maupun tidak) dari orang-orang tersebut.
Mengenai asas kesalahan Friedmann[28] mengungkapkan bahwa dalam hal public welfare offences, untuk dapat memidanakan korporasi jangan terlalu ditekankan pada segi unsur kesalahan. Sudah cukup apabila korporasi tersebut telah memenuhi perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Hal ini berarti bahwa untuk Indonesiapun dimungkinkan apabila korporasi dituduh berbuat suatu tindak pidana yang termasuk public welfare offences harus selalu diterapkan ajaran feit material dimana tidak diperlukan adanya unsur kesalahan (ajaran strict liability).
Selanjutnya apabila melihat teori atau doktrin direct corporate liability atau the identification doctrine, maka kesalahan terdapat pada pejabat senior, yaitu orang-orang tertentu yang berhubungan erat dengan korporasi dan dengan pengelolaan korporasi. Dengan kata lain bahwa perbuatan/delik dan kesalahan/sikap batin pejabat senior dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin perusahaan. Sedangkan unsur-unsur delik dapat dikumpulkan dari serangkaian perbuatan dan sikap batin dari beberapa pejabat senior tersebut, sehingga mengakibatkan tercemarnya dan/rusaknya lingkungan.
Terkait dengan perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan lingkungan hidup sebagaimana diungkapkan Muladi[29] bahwa dalam merumuskan tindak pidana lingkungan hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata (actual harm) tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial baik terhadap lingkungan maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan ini untuk generic crime yang relatif berat sebaiknya dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Sedangkan untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crime) yang melekat pada hukum administratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan. Selanjutnya sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana tersebut dapat mencakup perbuatan sengaja (dolus, knowingly), sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis, recklessness) dan kealpaan (culpa, negligence).
Selain itu Muladi juga menyampaikan bahwa dalam merumuskan tindak pidana dalam perundang-undangan lingkungan hendaknya juga dipertimbangkan adanya dua macam elemen, yaitu elemen material (material element) yang mencakup adanya perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar atau bertentangan dengan standar lingkungan yang ada. Sedangkan elemen mental (mental element) mencakup pengertian bahwa berbuat atau tidak berbuat tersebut dilakukan dengan sengaja, recklessness (dolus eventualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence). Dikatakan oleh beliau bahwa pembagian seperti itu, biasa dikenal dalam sistem Anglo Saxon dimana hukum di Indonesia lebih banyak dipengaruhi Sistem Hukum Kontinental yang membedakan kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
- Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan untuk korporasi
Penggunaan sanksi pidana yang selama ini ada pada umumnya ditujukan kepada kepentingan yang berupa nyawa, kemerdekaan/kebebasan atau harta benda manusia. Sedangkan sumber utama dari pencemaran/perusakan lingkungan adalah manusia itu sendiri dan sebenarnya hakikat dari pencemaran/perusakan lingkungan adalah adanya ketidaksamaan atau ketidakseimbangan dalam lingkungan hidup manusia itu sendiri. Sedangkan faktor menonjol yang dapat menggoncangkan atau mengganggu keseimbangan itu adalah perkembangan teknologi dan ledakan penduduk.[30] Terhadap faktor yang menonjol sebagaimana telah dikemukakan di atas, sanksi pidana tidak dapat berbuat banyak. Oleh karena itu yang penting adalah memilih dan menetapkan pidana apa yang paling tepat. Sebagaimana dikemukakan oleh Bentham : punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious.[31]
Tujuan dari pemidanaan dalam tindak pidana lingkungan hidup dikatakan Muladi[32] sebagai berikut : Pertama, untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang. Kedua, mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup.
Jenis sanksi untuk korporasi menurut International Meeting of experts on the use of criminal sanction in the protection of environment, internationally, domestically and regionally di Portland Oregon USA 19-23 Maret 1994 bahwa semua sanksi kecuali pidana penjara dapat dikenakan kepada badan hukum. Adapun jenis-jenis sanksi untuk pelaku TPLH dapat berupa :
- Penjara (imprisonment).
- Sanksi bernilai uang (monetary sanction).
- Mengganti keuntungan ekonomis (recoupe any economic benefit) yang diperoleh terpidana sebagai hasil kejahatannya.
- Mengganti (recover), semua atau sebagian biaya pengusutan/penyidikan dan melakukan perbaikan (reparation) setiap kerugian yang disebabkan oleh terpidana.
- Pidana tambahan berupa :
- Larangan melakukan perbuatan/aktivitas yang dapat menyebabkan berlanjutnya atau terulangnya kejahatan itu.
- Perintah untuk mengakhiri atau tidak melanjutkan kegiatan (untuk sementara atau selamanya), pencabutan ijin kegiatan, pembubaran usaha bisnis;
- Perampasan kekayaan (property/assets) dan hasil kejahatan dengan memberi perlindungan hak-hak pihak ketiga yang bonafit (jujur/dapat dipercaya/beritikat baik);
- Mengeluarkan atau mendiskualifikasi terpidana dari kontrak-kontrak pemerintah, keuntungan fiscal atau subsidi-subsidi;
- Memerintahkan pemecatan manajer dan mendiskualifikasi/membatalkan petugas dari jabatannya;
- Memerintahkan terpidana melakukan perbuatan untuk memperbaiki atau menghindari kerugian terhadap lingkungan;
- Mengharuskan terpidana mematuhi syarat-syarat/kondisi yang ditetapkan pengadilan dan untuk mencegah terpidana mengulangi lagi perbuatannya atau melakukan kejahatan lingkungan lainnya;
- Memerintahkan publikasi fakta-fakta yang berhubungan dengan putusan pengadilan;
- Memerintahkan terpidana untuk memberitahu orang-orang yang dirugikan oleh perbuatannya;
- Memerintahkan terpidana (apabila merupakan organisasi) untuk mengungkap/memberitahukan kepada publik di semua negara tempat beroperasinya organisasi yang dikenakan kepadanya kepada cabang-cabangnya, kepada para direktur, petugas, manajer, atau karyawannya;
- Memerintahkan terpidana untuk melakukan pelayanan/kerja sosial (community service).
Selanjutnya Peter Gilles[33] dalam criminal law mengungkapkan bahwa perusahaan/korporasi dapat melakukan banyak delik dengan batasan-batasan tertentu. Salah satu pertimbangan yang relevan adalah masalah pidana. Dikatakan secara normal, pidana yang dapat dikenakan kepada perusahaan adalah pidana denda. Oleh karena itu apabila suatu delik hanya diancam pidana penjara tidaklah mungkin dikenakan kepada perusahaan. Sebagai contoh di Australia, perusahaan akan dinyatakan tidak mampu melakukan pembunuhan (murder) karena delik tersebut hanya diancam dengan pidana penjara.
Selama ini sanksi pidana yang banyak dijatuhkan terhadap badan hukum yang mencemari atau merusak lingkungan hidup adalah sanksi pidana denda. Selama ini kecenderungan untuk menggunakan sanksi pidana adalah sebagai sanksi subsider atau sebagai “ultimum remedium” (obat terakhir) dalam arti lebih mendahulukan penerapan sanksi administrasi dan sanksi perdata. Apabila kedua sanksi ini tidak berhasil, barulah kemudian digunakan sanksi pidana. Akan tetapi kecenderungan penerapan sanksi ini di dalam masalah pencemaran lingkungan hidup menimbulkan beberapa kelemahan diantaranya :
- Pada umumnya proses perkara perdata relatif memerlukan waktu yang cukup lama, karena besar kemungkinan pihak pencemar akan mengulur-ulur waktu sidang atau waktu pelaksanaan eksekusi dengan cara mengajukan banding atau kasasi, sementara pencemaran terus juga berlangsung dengan segala macam akibatnya;
- Jangka waktu pemulihan sulit dilakukan dengan segera dan juga memerlukan waktu yang cukup lama;
- Dengan tidak menerapkan sanksi pidana, tidak menutup kemungkinan pencemar atau pencemar lain yang potensial untuk tidak melakukan pencemaran, dengan kata lain “deterren effect” (efek pencegahan) dari sanksi-sanksi lain tidak dapat diharapkan dengan baik;
- Penerapan sanksi administratif dapat mengakibatkan penutupan perusahaan industri yang membawa akibat pula kepada pekerja, pengangguran akan menjadi bertambah, dapat menimbulkan kejahatan dan kerawanan sosial ekonomi lainnya.[34]
Sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia dan dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan serta merta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya, sedangkan penerapan sanksi pidana dalam UUPPLH pada kenyataanya jarang sekali diterapkan kepada industri yang mencemari lingkungan sebagaimana mestinya. Memang disadari bahwa pencemaran atau perusakan lingkungan ini tidak menimbulkan korban yang nampak seketika, seperti kejahatan tradisional/konvensional lainnya (pembunuhan, pencurian dsb). Akan tetapi pencemaran yang telah memakan waktu sekian lama dapat mengakibatkan bahaya dan korban terhadap kepentingan umum yang lebih besar baik terhadap manusia sebagai anggota masyarakat, korban yang dialami perusahaan ataupun negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah yang mengalami pencemaran tersebut. Sehingga korban atau kerugian yang diderita meliputi kerugian materi dan kerugian non material, sedangkan penerapan sanksi pidana itu sendiri tidak dimaksudkan hanya dengan melihat besar kecilnya pencemaran atau perusakan lingkungan yang timbul, melainkan penerapan sanksi pidana dalam UUPPLH bermanfaat agar perusahaan atau badan hukum mematuhi aturan yang ada dalam UUPPLH dan mencegah terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan hidup.
Disamping adanya sanksi pidana, UUPPLH ini juga memuat tindakan tata tertib kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang dapat merupakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 119 UUPPLH.[35] Penerapan sanksi pidana dalam teori ilmu hukum pidana dikatakan sebagai “ultimum remedium” atau sebagai senjata terakhir. Hal ini berarti bahwa sanksi pidana baru diterapkan apabila sanksi administrasi dan/atau sanksi perdata tidak berhasil untuk menanggulangi masalah atau mencegah suatu perbuatan anti sosial dalam masyarakat. Kebijakan penegakan hukum tersebut pada umumnya dapat diterapkan di negara-negara maju dan ini dapat dipahami mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusahanya. Sementara di negara-negara berkembang, seperti halnya di Indonesia, merupakan hal yang sering kita jumpai di mana masyarakat di dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari sering mengabaikan kelestarian lingkungan alam sekitarnya. Demikian pula dengan para pengusaha atau badan hukum yang bergerak di bidang industri, sehingga limbah industri mereka buang ke dalam sungai.
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan ini, seperti dikemukakan Muladi hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan maupun kesehatan umum tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikualifikasi. Sehubungan dengan ini generic crime yang relatif berat sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes) yang melekat pada hukum administrasi dan relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan.[36]
Di Amerika Serikat sanksi pidana dipergunakan pada urutan terakhir sekali, yaitu sebagai “ultimum remedium”. Kebijakan penegakan hukum seperti ini bisa dipahami mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusaha di negara maju tersebut. Mereka yang berpendapat bahwa sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan terhadap badan hukum disebabkan karena perkembangan dalam ilmu hukum pidana bahwa tidak hanya orang seorang atau kelompok orang (seperti dalam Pasal 55 KUHPidana) saja yang dapat dijatuhi sanksi pidana, tetapi berkembang menjadi badan hukum atau korporasi juga dapat dijatuhi sanksi pidana penjara melalui pengurus, direktur atau karyawan dari badan hukum itu (fysiek daderschap). Namun dalam praktik, penegakan hukumnya tidak semudah membalikan telapak tangan, ada beberapa hambatan, seperti kesulitan dalam pembuktian, mengingat dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran melibatkan banyak dimensi, seperti keprofesionalan aparat (melibatkan para ahli lingkungan) yang dimulai dari awal penyelidikan hingga akhir perkaranya, dan biaya serta waktu yang tidak sedikit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 116 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH, maka badan hukum termasuk dalam subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana, apabila melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut. Oleh karenanya, diharapkan para pengusaha, pengurus, serta karyawannya berhati-hati dalam menjalankan perusahaannya, jangan sampai mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, karena dapat dipidana, selain harus membayar denda dan/atau pun tindakan lainnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya.
Apabila melihat sejarah perkembangan dimasukannya badan hukum sebagai subjek hukum dalam hukum pidana di luar KUHP yang dimulai sejak tahun 1951 (vide UU No.17 Tahun 1951 jo Perpu No.8 Tahun 1962; UU No.7/Drt/1955; UU No.11/PNPS/1963), maka aspek yang mempengaruhi perkembangan dijadikannya badan hukum sebagai subjek hukum pidana adalah disebabkan perkembangan di bidang perekonomian. Perkembangan ini dimulai sejak dasa warsa 1950-an dengan adanya proses internasionalisasi yang menembus batas-batas wilayah negara dan semakin banyaknya kegiatan kerjasama ekonomi, bantuan ekonomi internasional, serta penanaman modal asing. Disamping itu juga merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak atau negara. Dari hasil-hasil penelitian tentang kejahatan korporasi atau badan hukum, menunjukkan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan ke dalam enam jenis: yaitu pelanggaran hukum administrasi, pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan, manufakturing dan persaingan dagang yang tidak fair.
Tindak pidana di bidang lingkungan saat ini harus lebih diefektifkan sanksinya, dengan tujuan : Pertama : Untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang; Kedua : Mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian tindak pidana lingkungan sepenuhnya tergantung pada hukum lain. Kondisi ini dianggap wajar, namun mengingat pentingnya lingkungan hidup yang baik dan sehat dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan yang dilindungi baik yang bersifat antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crime) perlu dilengkapi dengan pengaturan yang bersifat umum dan mandiri terlepas dari hukum lain.
Penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi diperlukan karena kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan baik fisik, sosial maupun ekonomi sangat besar. Oleh karena itu perlu mengorganisasikan secara sistematis kebijakan kriminal (criminal policy)[37] dengan menggunakan secara berpasangan langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non yuridis dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam mengatasi kendala-kendala di atas.
Selanjutnya dalam kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan ultimum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium namun menurut Clinard and Yeager[38] diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
- The degree of loss to the public
- The level o complicity by high corporate managers
- The duration of the violation
- The frequency of the violation
- Evidence on intent to violate
- Evidence of extortion, as in bribery cases
- The degree of notoriety engendered by the media
- Precedent in law
- The history of serious violation by the corporation
- Deterrence potential
- The degree of cooperation evinced by the corporation.
Dalam hal hukum pidana dipilih maka sanksi-sanksi yang dapat dimanfaatkan adalah sebagai berikut (sepanjang hukum positif memungkinkan), yaitu : (1) denda; (2) pidana bersyarat/pidana pengawasan; (3) Pidana kerja sosial; (4) Pengumuman keputusan hakim; (5) Ganti rugi dan pelbagai sistem tindakan tata tertib.
Berbagai upaya dilakukan dalam penanganan kejahatan lingkungan, salah satunya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan kerjasama penegakan hukum dengan pendekatan multi-door (terpadu)[39] ada 43 kasus kejahatan Sumber Daya Alam dan lingkungan di hutan dan lahan gambut yang ditangani aparat penegak hukum. Dalam praktiknya, ada berbagai kendala yang muncul diantaranya mencari ahli kehutanan, ahli perkebunan, ahli pidana korporasi memerlukan waktu yang lama, saksi atau calon tersangka tidak diketahui keberadaannya, terutama warga asing serta kondisi geografis sulit dijangkau.[40] Salah satu aspek penting dalam pendekatan multi-door adalah pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability).
Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi (Corporate Criminal Responsibility) dalam perundang-undangan lingkungan hidup hendaknya mengacu kepada 4 (empat) hal, meliputi sebagai berikut : [41]
- Siapa yang dipertanggungjawabkan;
- Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana;
- Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; dan
- Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.
Keempat hal tersebut di atas, telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya pada halaman 20 dst.
- Penutup
- Simpulan
- Bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup seringkali mengalami berbagai kendala diantaranya dalam mencari para ahli, seperti : ahli kehutanan, ahli perkebunan, ahli pidana korporasi, dan ahli lainnya memerlukan waktu yang relatif cukup lama, para saksi atau calon tersangka sudah tidak diketahui keberadaannya, terutama bagi warga negara asing serta kondisi geografis yang sulit dijangkau yang harus memerlukan pula biaya dan peralatan yang cukup besar.
- Kejahatan korporasi melalui perusahaan-perusahaan besar dapat terjadi dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi diperlukan karena kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan baik fisik, sosial maupun ekonomi sangat besar. Contohnya, seperti dalam kasus Montara maka perlu adanya upaya-upaya mengorganisasikan secara sistematis kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan secara berpasangan langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non yuridis dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam mengatasi kendala-kendala di atas. Selain itu diperlukan kerjasama penegakan hukum dengan pendekatan multi-door (terpadu). Salah satu aspek penting dalam pendekatan multi-door adalah pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability).
- Saran
Pengaturan tindak pidana lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat melakukan rekayasa sosial (social engineering), masih memerlukan penyempurnaan ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni : perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan sanksi (sanction) baik yang merupakan pidana (punishment) maupun tindakan pidana tertib (treatment).
[1] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang, 1997, hlm. 196.
[2] http// penegakan hukum. menlh.go.id, Berharap UU Lingkungan Hidup Tegak Lurus, diakses 5 Desember 2014 pk. 20.00 wib.
[3] Lihat dalam Pasal 44 UUPPLH yang menentukan : Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasonal dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
[4] Dalam Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 419.
[5] Dalam sistem hukum di Indonesia, pengertian korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian badan hukum atau perusahaan. Sebagaimana pengertian korporasi yang dikemukakan Sutan Remi Sjahdeini dengan mendefinisikan pengertian dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti sempit yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Sedangkan dalam arti luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum pidana yaitu korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum, lihat dalam Kristian, Hukum Korporasi Ditinjau Dalam The United Nations Global Compact (Suatu Pengantar), Nuansa Aulia, Bandung, 2014, hlm. 1.
[6] Kasus ini sebenarnya kasus lama yang terjadi pada tahun 2009 yang lalu yaitu masalah kebocoran sumur minyak Montara di Laut Timor. Kasus inipun dipertanyakan oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni karena langkah Kementrian Lingkungan membuka lagi kasus yang dianggap mengendap terlalu lama. Padahal ketika warga Timor Barat gencar menuntut ganti rugi kepada pemerintah Australia, pemerintah Indonesia terkesan tak serius mendukung mereka. lihat dalam Tempo, Mengejar Ganti Rugi Tumpahan Montara, 8 Juni 2014, hlm. 80-81.
[7] Ibid.
[8] Ibid. hlm. 81.
[9] Istilah badan hukum yang biasanya dikenal dalam hukum perdata adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau mnggugat di depan hakim, lihat Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1991, .h. 19. Sedangkan di dalam hukum pidana yang sering dikenal adalah istilah korporasi, yang pengertiannya lebih luas dari badan hukum. Sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum sedangkan menurut hukum perdata korporasi adalah badan hukum, lihat Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, STH, Bandung, 1991, hlm. 20.
[10] Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, ctk.kedua, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 207.
[11]Dalam hubungan ini Pompe membahas tentang pembuat pidana secara rohaniah. Roling menandai kejadian-kejadian ini dengan bersumber pada pemikiran bahwa si pembuat perbuatan pidana yang memenuhi fungsi menjual dan lain-lain sebagai pembuat pidana fungsional. Mulder menganjurkan istilah pembuat perbuatan pidana yang berwenang mengatur (beschikkingsdader).
[12] Sebagaimana ditentukan dalam Paragraf 6 ayat (2) yang berbunyi : badan-badan hukum dari perseroan-perseroan sama halnya dengan perorangan (natuurlijkpersoon) dapat dijatuhkan pidana.
[13] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana (Sari Kuliah II), Program Magister Hukum UNDIP, Semarang, 2001, hlm. 148-153.
[14] Ibid., hlm. 150.
[15] Teori-teori tentang pemidanaan terhadap korporasi belum begitu lama berkembang. Di Amerika Serikat baru berkembang sejak tahun 1909 yaitu dalam kasus New York Central Hudson River R.R. versus United States. Di Belanda baru berkembang sejak tahun 1950 setelah disebut dalam Wet Op de Economische Delicten tetapi dalam hukum pidana Belanda pada umunya baru resmi berlaku sejak tanggal 1 September 1976 dan di Indonesia sendiri baru diperkenalkan sejak tahun 1951 dalam Undang-undang Penimbunan Barang dan tahun 1955 dalam UU tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya terbit beberapa undang-undang lainnya yang memungkinkan tindak pidana dilakukan perusahaan/korporasi.
[16] Dalam M. Hamdan, op.cit. hlm. 63.
[17] Ibid.
[18] Lobby Loqman dalam M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 14.
[19] Mardjono Reksodipuro dalam M. Hamdan, Ibid. hlm. 15
[20] Lihat Pasal 116 ayat (1) UUPPLH.
[21] Lihat dalam Pasal 119 UUPPLH.
[22] Indonesian Center For Environmental Law (ICEL), Penegakan Hukum Lingkungan Terintegrasi Konsep & Langkah-angkah Pengaktualisasian, Agustus 2003.
[23] Munir Fuadi, op cit., h. 207.
[24] Istilah badan hukum yang biasanya dikenal dalam hukum perdata adalah suatu badan atau perkumpuan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan, seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim, lihat Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1991, h. 19. Sedangkan di dalam hukum pidana yang sering dikenal adalah istilah korporasi, yang pengertiannya lebih luas dari badan hukum. Korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi adalah badan hukum, lihat Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, STH, Bandung, 1991, hlm. 20.
[25] Tempo, Mengejar Ganti Rugi Tumpahan Montara, 8 Juni 2014, hlm. 80-81.
[26] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adiya Bakti, Bandung, 2001. hlm. 156.
[27] Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. hlm. 78
[28] Ibid.
[29] Muladi.op. cit., hlm. 203.
[30] Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hlm. 131.
[31] Ibid. hlm. 132.
[32] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, op. cit., hlm. 197.
[33] Dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, op. cit. hlm. 134.
[34] Hamdan, op cit., hlm. 18.
[35] Pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa :
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
- Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
- Perbaikan akibat tindak pidana;
- Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau;
- Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
[36] Muladi, Op.cit., hlm. 196.
[37] Muladi, Op.cit., hlm.172.
[38] Ibid.
[39] http://www. Mongabay.co.id/2013, Penegakan hukum terpadu ini diharapkan mampu menjerat pelaku kejahatan dengan hukum berlapis sehingga bisa memberikan efek jera, Mongabay. Co.id. 43 Kasus Kejahatan Lingkungan Hidup Ditangani dengan Penegakan Hukum Terpadu, diakses tanggal 6 Desember 2014 Pk. 21.30 WIB.
[40] Ibid.
[41] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adiya Bakti,Bandung, op.cit.