Keterbatasan Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana) dalam Menanggulangi Konflik Kekerasan (Carok) pada Masyarakat Madura
Oleh: Cahyono[1]
Cahyonohakim98@gmail
- Pendahuluan
Sistem hukum kodifikasi dan unifikasi sungguh tidak realistik dalam mengembanwujudkan amanat luhur: “mengakomodasi nilai-nilai hukum yang hidup”, apalagi bila harus dibaca sebagai akses bagi keadilan rakyat yang heterogen. Di sini persoalannya tidak terbatas pada ketidakjumbuhan norma dan nilai dari dua sistem yang berbeda itu. Juga tidak hanya terbatas pada kemampuan rakyat untuk memasuki sistem birokrasi-teknis yang begitu rumit. Lebih dari itu, soal kemampuan dan kesiapan para hakim untuk menggali dan menemukan nilai-nilai yang memang belum siap untuk dipakai (nilai yang mana dan menurut siapa), menjadi persoalan yang tidak kalah krusial.[2]
Noonan[3], secara dramatik menggambarkan ketakmampuan para hakim menangkap aspirasi sosial dalam sebuah kasus. Menurut catatan Noonan, lembaga-lembaga peradilan serta para hakim yang sangat diagungkan sekalipun, lebih sering gagal untuk memberikan respons terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi atau kepentingan-kepentingan sosial para pihak. Itu terjadi ketika para hakim membiarkan adanya “topeng” (yaitu konsep-konsep untuk mengklasifikasikan secara formal), dan dengan begitu menyembunyikan realitas kemanusiaan dan sosial yang kompleks yang ada dalam kasus-kasus yang mereka hadapi.
Diberbagai mass media (Kompas-regional) telah menginformasikan berbagai kasus carok yang terjadi di kawasan Madura sebagai berikut:
Dua orang tewas dalam kasus “carok” di Kabupaten Sampang, – perkelahian dengan menggunakan senjata tajam antar warga sekitar pukul 19.00 WIB, Senin (11/8/2014) malam. Lokasi carok di Desa Sokabanah Daja, Kecamatan
Download lengkap artikel: