Terobosan Hakim dalam Mengadili Hard Cases yang Berkaitan dengan Penggunaan Bahasa melalui Judicial Activism

Terobosan Hakim dalam Mengadili Hard Cases

yang Berkaitan dengan Penggunaan Bahasa

melalui Judicial Activism[1]

Oleh: Dr. Cahyono, SH., MH[2]

        Tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencari keadilan. Sedangkan konsep keadilan yang digunakan adalah konsep keadilan yang dikembangkan John Rawls yang mengembangkan konsep keadilan sebagai justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran), jadi prinsip keadilan yang paling fair itulah yang harus dipedomani. Menurut John Rawls[3] ada dua prinsip dasar keadilan yaitu keadilan yang formal dan keadilan yang substantif sebagai berikut:

“The first statement of the two principles reads as follows. First: each person is to have an equal right to the most extensive scheme of equal basic liberties compatible with a similar sheeme of liberties for others. Second: social and economics inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonaby expected to be everyone’s advantage and (b) attached to positions and offices open to all”.

Dari prinsip keadilan tersebut, maka setiap orang memiliki hak yang sama dengan skema yang paling luas dari kebebasan dasar yang sama sesuai dengan skema sedemikian rupa, sehingga keduanya (a) cukup diharapkan untuk keuntungan semua orang, dan (b) yang melekat pada posisi dan kantor terbuka untuk semua semakin menunjukkan bahwa keadilan itu adalah hak setiap orang, apa dan bagaimanapun status sosial ekonominya.

Menurut Rawls, ada dua kewajiban natural yang sangat penting: (1) kewajiban untuk mendukung dan mengembangkan institusi-institusi yang adil dan (2) kewajiban natural untuk saling menghargai. Keadilan merupakan sebuah nilai primer bagi manusia, maka kewajiban untuk selalu bersikap adil menuntut bahwa ketika keadilan harus ditegakkan dengan menggunakan cara-cara yang adil pula. Hal penting yang harus diperhatikan dalam kaitan tersebut adalah peringatan Rawls untuk menghindarkan praktik-praktik yang tidak adil sekalipun dilakukan atas nama keadilan. Keadilan tidak boleh ditegakkan dengan cara-cara yang tidak adil. Cara-cara yang tidak adil, meskipun dilakukan atas nama keadilan, tetap saja bertentangan dengan esensi keadilan itu sendiri.

Baca lebih lengkap

Download dibawah ini

Terobosan Hakim dalam Mengadili Hard Cases_Cahyono

Mekanisme Eksekusi Fudisia

Mekanisme Eksekusi Fidusia :

  • Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 yang menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia;
  • Bahwa Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”;
  • Bahwa dengan mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri (parate eksekusi) oleh penerima fidusia kecuali:
  • Pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) sehingga tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) atau ada kesepakatan tentang kapan “cidera janji” (wanprestasi) antara debitur dengan kreditur;
  • Debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri;
  • Bahwa apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus didahului dengan mengajukan gugatan secara keperdataan ke pengadilan dan pelaksanaan eksekusinya diperlakukan sama sebagaimana halnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  • Bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan;
1 2
 
Pesan Layanan
Halo PN Sleman
Halo PN Sleman
Skip to content ext to Speech - all links on page spokenJavaScript